Cerpen Cinta - Ritual Cinta Purnama Keenam


*Cerpen Oleh Iin Munawaroh

Bapakku bukan dukun. Berkali-kali aku sudah mengatakannya, tapi mereka selalu tidak mempercayainya. Mereka tetap bersikukuh kalau Bapakku adalah seorang dukun. Entah kabar darimana dan siapa yang mengatakannya. Mereka menganggap aku adalah anak seorang dukun.


Siang itu matahari amatlah panas dan menyengat sebagian kulit ari tanganku. Aku berjalan tak semangat, lemas dan perut keroncongan. Tak ada sepoi angin sama sekali. Pohon-pohon telah tumbang dan berganti baliho-baliho gambar orang berjas. Perhelatan pemilu memang sebentar lagi dimulai. Entah siapa yang akan kupilih nantinya, yang pasti gambar-gambar orang --- yang katanya para calon pemimpin rakyat sudah sesak memenuhi jalan.

Beberapa kali jengah menyusup di dada. Mengaduk-aduk sebagian rongga dan memaksaku memuntahkan kata-kata makian. Baliho-baliho calon wakil rakyat itu, bukanlah satu-satunya penyebabnya. Tapi mereka turut menyumbangkan kemarahan yang bercampur panasnya cuaca.
“Siapa yang tidak jengah hidup dengannya? Bahkan kau pun sudah mulai jengah bukan? Hanya saja kau tidak mengakuinya,” ujar sebuah suara dari dalam kepalaku.
Aku terdiam. Menghentikan langkahku, dan memejamkan mata. Kubah langit semakin terasa membakar, mencucurkan keringat masam dari dalam tubuhku. Dengan sedikit ragu kuangkat tangangku. Kuhitung sejumlah jari dan aku baru sadar, bahwa malam ini adalah purnama kelima.
*****

Asap kemenyan berterbangan ditiup sang bayu. Sampai juga baunya di hidungku. Gumam sebuah suara dari kamar sebelah menghentikan tarian tanganku di atas kertas. Bapak lagi-lagi melakukan ritual itu. Ritual yang bertahun-tahun dijalaninya untuk membuktikan cintanya kepada Emak. Atau sekedar ungkapan kerinduannya kepada wajah putih mutiara dengan rambut panjang melambai, yang telah melahirkanku.
Aku mengintip dari balik kelambu batik. Ku lihat Bapakku sedang tersenyum dengan matanya yang bundar. Senyumnya sangatlah manis, manis sekali. Aku ingat betul arti senyum itu. Senyum secawan madu yang hanya diperuntukkan bagi wanitanya, yaitu Emak.
Jantungku mulai berdegup, semakin lama semakin kencang. Sebentar lagi arwah itu akan datang. Dan jika saat itu tiba, Bapak akan berteriak memanggili namaku. Mengajakku duduk di belakangnya untuk menyambut arwah Emak. Jika aku tidak memenuhi panggilannya, bisa mati digolok kepalaku. Tapi kali ini aku harus menghindar. Aku tak mau ikut-ikutan tingkah gilanya lagi. Atau semuanya akan semakin runyam. Aku harus pandai memilih, jika tidak semuanya benar-benar tak akan terwujud.
Ku ambil handphone di saku celanaku. Sebuah nomor dengan stiker berbentuk hati, berwarna merah jambu nampak di layarnya. Ku telepon nomor itu, dan kuajak orang yang berbicara di seberang sana bertemu. Tak lama hanya berselang setengah jam, sosok itu sudah nampak dipelupuk mataku. Memelukku lalu mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku.
“Aku merindukanmu sayang,” ucapnya dengan mata teduh kepadaku.
“Aku tidak sedang ingin bercinta. Aku butuh apa yang sudah kau janjikan Rangga,” balasku tegas. Dengan cepat aku diam, memonyongkan bibirku beberapa senti dan memalingkan mukaku dari pandangannya. Aku memang sedang jengah, tak ingin bermesraan dengannya seperti biasanya.
“Kenapa kau merajuk lagi?” nada suara Rangga mulai meninggi. “Aku sudah bilang, sabar! Tunggu waktunya sebentar. Mereka belum bisa merestui kita,” lanjutnya dengan nada sedikit emosi.
“Apa yang membuat mereka begitu membenciku? Aku sudah berpacaran denganmu selama lima tahun. Aku juga kuliah sebagaimana engkau kuliah. Lalu apa? Harta?” Bentakku sambil terisak.
“Ini bukan masalah harta Raras, ini... ini...ini karena Bapakmu adalah seorang dukun!” kali ini Rangga berhasil mengungkapkannya. Sudah lama aku menduga tentang hal ini. Tapi selalu saja Rangga bisa menutupinya. Kali ini mungkin langit sudah mulai bosan, atau bintang-bingtang mulai enggan dengan pertengkaran ini -- sehingga menyuruhnya berkata jujur saja padaku.
“Bapakku bukan dukun Rangga!” Jawabku dengan berteriak sambil terisak. “Berkali-kali aku sudah mengatakannya, tapi mereka selalu tidak mempercayainya. Mereka tetap bersikukuh kalau Bapakku adalah seorang dukun. Entah kabar darimana dan siapa yang mengatakannya. Mereka menganggap aku adalah anak seorang dukun.” Kini bendungan di kelopak mataku jebol. Air mata deras membanjir, membuat sebagian menyumbat hidungku. Hatiku seakan teriris. Rangga yang kucintai telah berkomplot dengan mereka. Meneriakiku sebagai anak dukun tanpa mencari tau kebenarannya.
“Bukan begitu maksudku Raras,” Rangga mengelus-elus rambutku. “Ayah Bundaku menginginkan aku memiliki istri yang solehah, agamanya bagus,” kali ini ucapannya sangat halus.
Aku tak mau peduli dengan apapun alasannya. Dia hanya ingin menyakitiku saja. Apa maksudnya berkata seperti itu. Bahkan Tuhan pun tahu apa yang sebenarnya ada pada diriku. Dia dan orang tuanya tidak berhak menilai orang sembarangan. Bahkan cinta sucikupun tak dianggapnya. Ini hanya gara-gara anggapan kalau aku adalah anak seorang dukun.
Beberapa saat aku terdiam. Berusaha mengambil nafas panjang untuk menenangkan emosiku. Perlahan dan dengan agak terbata aku mulai membuka mulutku. “Dengan kata lain kau menganggapku tak beragama?” balasku cepat. Hatiku makin teriris. Sakit rasanya jika kami harus memperdebatkan ini lagi. Sudah kesekian puluh kali, dan kami belum bisa menemukan cara agar orang tua Rangga merestui hubungan ini.
“Tidak! Bukan seperti itu Raras...!” Rangga berusaha menjelaskan. “Aku mengerti posisimu, tapi orang tuaku tak bisa menerima itu. Aku sudah berusaha menjelaskannya, tapi kenyataannya berkata lain. Setiap purnama, bau kemenyan -- sempurna tercium dari rumahmu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?” Aku menyelidik. “Jangan kau bilang....” aku tak meneruskan perkataanku. Aku ragu, aku takut, aku marah.
“Iya benar!” Rangga menunduk. “Orang tuaku mengirimkan seseorang untuk memata-matai kalian. Dan aku tidak bisa mencegah itu semua.”
Aku tak menyangka semuanya akan rumit seperti ini. Hatiku berkecamuk menjadi satu. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi selain diam dan menangis. Semuanya karena kesalahan Bapak. Tapi, bukankah Bapak berhak melakukan apapun yang ingin dia lakukan. Bukankah dia tidak pernah menyakiti siapapun. Bukankah yang terpenting adalah itu. Untuk apa manusia merasa dirinya beriman kalau dia semena-mena dengan manusia lainnya, menilainya hanya sebatas luarnya saja. Bukankah itu sesungguhnya kedzaliman yang nyata, merasa dirinya suci dan menganggap yang lainnya hina.
Entahlah aku hampir gila merasakan ini semua. Rangga juga, nampaknya dia tidak tahu harus bagaimana lagi menyelesaikan masalah ini. Kami berdua akhirnya memilih diam. Mematung ditempat duduk masing-masing.
Purnama penuh tampak sedang menertawakan kami. Aku tak peduli. Dedaunan dan pohon di samping kami seakan berbisik, mengasihani kami. Aku tak peduli. Aku tak mau peduli. Hanya sang bayu yang seakan tahu isi hati ini. Tangisanku meleleh tak berbunyi. Dalam diam aku menjadi api. Panas dan segera ingin pergi. Tapi lagi-lagi Rangga memaksaku mencari ketenangan lain. Dalam rona jingga bibir ranumnya, atau sekedar belaian nakal dilekuk tubuh rawan. Aku pasrah, menyerah ditangannya.
*****

Matahari masih pucat, belum bersinar seutuhnya. Lihat saja, dingin masih menggeliat, dengan butir-butir embun basah menggairahkan. Atau kalau kau tak percaya, lihatlah sekelilingmu. Bunga mawar masih kuncup, tak mau mekar.
Pagi ini aku juga sekuncup mawar itu. Aku enggan mekar, enggan keluar setelah hampir satu bulan yang lalu -- untuk yang terakhir kalinya aku bertemu dengan Rangga. Kisah kami memanglah teramat sulit. Cinta tanpa restu memang bukanlah hal yang mudah.
Tapi kesedihanku ini tidak bisa berhenti sampai disini. Tiba-tiba seorang tamu tak ku kenal datang mencari Bapak. Entah apa yang mereka bicarakan, namun aku bisa menangkap mimik wajah Bapak yang teramat berseri-seri. Mungkinkah ada kabar bahagia untuk Bapak. Apapun kabarnya, aku turut senang. Sudah lama aku tidak melihat wajah Bapak yang berseri seperti ini.
Tak lama, hanya berselang sekitar setengah jam tamu itu berpamitan pulang. Dia adalah seorang pria tanggung berwajah tampan. Jika dapat ku perkirakan, umurnya sekitar tiga puluhan.
“Ras.... Raras!” Bapak memanggiliku.
“Iya Pak, ada apa tho Pak, kok panggilnya keras-keras?” cerocosku sambil menghadap ke Bapak di ruang tamu.
Nduk... Kau tahu nggak tamu yang baru saja datang itu?”
Aku diam sesaat. Memandang lekat-lekat wajah Bapakku yang masih sumringah. “ Ya lihat Pak, memangnya ada apa dengan tamu itu. Kok Bapak kayaknya senang sekali?”
“Menurutmu dia membawa kabar apa Nduk?”
“Ya saya nggak tahu tho pak, Bapak saja belum cerita.”
“Dia itu pengen mempersuntingmu Nduk..., dia anak orang yang baik, agamanya baik, Bapak tahu persis bagaimana orang tuanya.”
Seperti ada sebuah tombak menghantam ulu hatiku. Perkataan Bapak seperti godam yang menghancurkan berbagai macam bayanganku, mimpiku. Aku tak mau merusak perasaan Bapak, tapi aku juga tak bisa menghapus impianku bersama Rangga. Aku hampir saja gila menghadapi ini semua. Mungkin seperti kegilaan Bapak saat ditinggal mati oleh Emak. Aku harus mencari cara agar pernikahan ini gagal, tanpa aku harus menyakiti perasaan Bapak. Maka pada bulan purnama keenam aku harus melakukan ritual. Ritual yang membuat orang yang dianggap Bapak alim, enggan meneruskan pernikahannya denganku.
Maka sore itu juga  aku menyiapkan berbagai macam kembang tujuh rupa, dupa dan jajanan pasar pelengkap ritual. Aku tak pernah tahu apa maksud dari semua barang-barang itu, aku hanya pernah melihatnya --- saat Bapak melakukan ritual memanggil arwah Emak.
Tak hanya itu, aku berpakaian serba hitam. Aku ingin terlihat horor, aku ingin terlihat misterius, aku ingin memperlihatkan kelukaan hatiku kepada mereka. Aku tahu mereka akan datang malam ini, aku sengaja melakukannya.
Dan saat yang ditunggupun tiba. Bapak terlihat sangat terkejut dengan penampilan dan perilakuku malam ini. Matanya terbelalak, hampir-hampir tak berkedip sedikitpun saat mendapati aku berperilaku seperti ini.
Nduk, apa yang sedang kau lakukan?” ucap Bapak dengan wajah sedikit was-was.
Aku tersenyum kecut. Mataku nampak kosong, sekosong perasaanku malam ini.”Bukankah malam ini malam purnama Pak? Bukankah kita seharusnya melakukan ritual untuk kedatangan Emak?” jawabku sekenanya.
Bapak menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Nduk, bukankah engkau tahu bagaimana Bapakmu ini sebenarnya?”
“Iya Pak saya tahu, tapi Bapak biasanya melakukan ini. Aku akan melakukan apa yang Bapak lakukan sebagai bentuk baktiku kepada Bapak.”
“Kau jangan membohongi Bapakmu ini Raras!” Jawab Bapak cepat. “Aku ini Bapakmu, sejak 23 tahun yang lalu, aku ini sudah menjadi Bapakmu. Bapak tahu apa yang sedang engkau rasakan.”
“Apa maksud Bapak?” tanyaku sedikit ragu.
“Apakah kau sudah memiliki pilihan hatimu sendiri?”
Kini Bapak membuatku mati kutu. Wajahku tak bisa lagi menyembunyikan kesedihanku. Aku mengangguk perlahan.
“Lalu kenapa tak kau kenalkan pria itu kepada Bapakmu ini?”
Aku ketakutan. Aku tak berani menjelaskan sebab dari sulitnya cinta ini. Aku hanya menundukkan kepalaku sambil terisak. Tapi aku harus berani mengungkapkannya, sebelum keluarhga orang yang akan melamarku datang --- dan semuanya akan berakhir.”Mereka, tak merestui cinta kami Pak.” akhirnya aku menjawab dengan suara amat pelan.
Seakan mengerti maksudku, Bapak mengangguk perlahan. Dia tak mengeluarkan komentar apapun tentang pengakuanku. Dia hanya tersenyum, sambil mengelus-elus rambutku. Lalu dia berjalan dan duduk di bangku tak jauh dari tempat pembicaraan kami.
“Seberat apapun Nduk, janganlah kau menjadi seperti ini. Kau ini punya agama, kau selalu solat lima kali sehari. Kau juga rajin mengaji. Kau patuh dengan orang tua. Sangat sempurna imanmu Nduk. Lalu apa yang akan kau lakukan dengan dupa dan bunga-bunga itu?”
Aku tersenyum sinis. “Bukankah ini hal yang selalu Bapak lakukan? Bukankah ini hal yang Bapak suka? Hal inilah yang membuat keluarganya menolakku Pak. Dan aku ingin melakukan ini agar mereka juga menolakku.”
Bapak hanya diam. Sesekali menghembuskan nafas dengan sedikit keras, seperti mau mengosongkan kecamuk di dadanya. “Kau tahu Nduk, Bapak melakukan itu hanya karena Bapak kangen sama Emakmu. Tak ada niat menyekutukan Tuhan sedikitpun. Bapak hanya merasa, saat purnama tiba --- kemenyan, bunga dan jajan pasar membuat Emakmu hadir dan tersenyum kepada Bapak. Kau yang paling tahu Nduk, Bapakmu ini orang yang seperti apa.”
Bapak memang benar. Aku orang yang paling tahu siapa Bapakku yang sebenarnya. Dia tak pernah sekalipun meninggalkan Solatnya. Dia juga selalu bangun malam dan rajin bepuasa. Mungkin ritualnya selama ini hanyalah sebagai bentuk ungkapan perasaan hatinya yang sesak. Siapapun akan melakukan hal-hal yang aneh di mata orang lain kalau dia sedang tertekan. Hal ini juga berlaku kepada Bapakku. Bapakku hanyalah orang biasa.
Bapak tersenyum melihat perubahan raut mukaku. Dia adalah lelaki paling pengertian yang pernah aku kenal. Mungkin dia sudah tahu kalau aku sudah mulai agak tenang.
“Lalu, haruskah Bapak menolak lamaran orang yang tadi pagi datang?”
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba ada suara orang mengetuk pintu. Aku tahu tamu yang datang itu adalah keluarga orang yang akan melamarku. Aku memilih masuk ke kamar tidurku. Toh Bapak juga sudah mengerti apa yang harus dilakukannya.
Dari dalam kamar, sayup-sayup aku dapat mendengar percakapan tamu-tamu itu dengan Bapakku. Setidaknya ada tiga orang. Seorang Bapak, Ibu dan anak lelakinya. Tapi ada satu hal yang aneh yang berkecamuk di dalam dadaku saat itu. Ada satu suara yang membuat jantungku berdebar hebat. Sebuah suara yang sangat aku kenal. Aku tak ragu lagi, itu pasti suaranya. Sudah sekian lama, aku sangat mengenalnya. Tapi siapa sebenarnya dia. Bukankah orang yang tadi pagi melamarku bukanlah orang yang kukenal.
Disaat perasaanku bercampur aduk, tiba-tiba Bapak membuka pintu kamarku. Sefikit berbisik, dia memintaku membuatkan minum dan menghidangkan makanan untuk para tamu itu.
“Walaupun pada akhirnya kita harus menolaknya, kita harus tetap menghormatinya Raras. Kau buatkan minum untuk mereka dan segera sajikan di ruang tamu. Biar kau benar-benar bisa memutuskan menerima atau menolak lamaran itu.”
Aku hanya mengangguk saja mengiyakan permintaan Bapak. Segera aku beranjak ke dapur dan membuatkan pesanan Bapak itu. Setelah selesai, dengan sedikit ragu aku menuju ke ruang tamu. Sesampainya di sana tanganku bergetar hebat, mataku berkaca-kaca, tubuhku tiba-tiba lemas tak berdaya.
Orang yang sedang duduk di hadapan Bapak dan diapit oleh kedua orang tuanya adalah Rangga. Aku tak pernah menyangka Rangga bisa datang seperti ini. Tak hanya aku, nampaknya Rangga juga terkejut melihatku. Ini adalah rekayasa cinta yang gila. Siapa yang tahu, ini rencana hebat yang dibuat Tuhan.
Setelah menyajikan minuman dan makanan di meja, Bapak memintaku duduk di sampingnya. Bapak memperkenalkan aku kepada tamu-tamunya itu. Mereka memanggilku Dita. Itu memang nama kecilku yang tak banyak orang tahu. Mungkin Rangga juga lupa kalau nama kecilku adalah Dita. Bukankah namaku Anggana Raras Pradiptha.
*****

Sebulan setelah pernikahan aku baru tahu bahwa orang yang melamarku di pagi, sebelum Rangga datang adalah sepupu yang disuruh oleh orang tuanya. Aku juga baru tahu bahwa Bapak --- pada waktu mudanya dulu, adalah guru mengaji Ayahnya Rangga. Bapak juga sempat merawat Ayahnya Rangga saat orang tuanya meninggal.
Mengenai anggapan bahwa Bapakku adalah dukun, adalah kesalahpahaman --- yang  hanya aku dan Rangga yang tahu. Kedua orang tua kami tak pernah menyadari kalau kami adalah dulunya dua sejoli yang pernah mereka larang. Kami tak mau ambil pusing dengan cerita itu. Biarlah kami saja yang tahu. Tuhan Maha Kuasa, apapun yang dikehendakinya pasti akan terjadi. Termasuk menjodohkanku dengan Rangga J.


----SELESAI----

Comments

Popular Posts