Cerpen Inspiratif--Dibalik Tas Linur
Rabu itu (20/11) langit begitu
cerah. Matahari bersinar terang namun tidak terik. Semilir sepoi angin dari pohon-pohon besar kala
itu begitu sempurna. Namun pemandangan itu agaknya terganggu dengan berjubelnya
mobil yang terparkir disekitarnya.
Dengan berjalan penuh semangat
saya menyusuri jalan di kompleks gedung C itu. Mata saya tak henti-hentinya
memandang takjub akan rindangnya pohon. Namun juga sesekali melongok mencari
sosok inspiratif yang pernah saya temui di acara career days.
Sayapun menghentikan langkah saya
tepat di depan papan bertuliskan “Sekolah Autis Universitas Negeri Malang”.
Disana saya bertemu sosok yang saya cari sejak tadi. Dia tersenyum ramah sambil
mengajak saya menuju sebuah gazebo di taman depan sekolah Autis tersebut.
Sembari berjalan kamipun sedikit berkenalan dan menanyakan kabar.
Namanya Muhammad Linur Huda.
Perawakannya agak kurus jangkung dengan rambut sedikit ikal. Saat itu dia
menggunakan baju batik berwarna ungu dengan corak krem. Di punggungnya ada sebuah
tas hitam dengan jahitan bordir
membentuk nama Linur.
Tak ada yang nampak berbeda
dengan pemuda itu. Wajahnya serupa dengan wajah mahasiswa UM yang lainnya.
Namun siapa yang sangka Mahasiswa Sejarah semester VII itu bisa menguliahkan salah
satu adiknya.
Cerita kesuksesannya tidak datang
begitu saja secara tiba-tiba. Bagai ungkapan peribahasa ‘Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ketepian’, Linur pun juga merasakan kesakitan saat memulai
usahanya. Dia bahkan harus rela memanjat pohon asem untuk mendapatkan selembar
rupiah.
Semuanya dimulai ketika ayah
Linur sedang sakit. Linur yang saat itu masih duduk di bangku SMP harus
membantu ayahnya untuk bekerja. Sebagai seorang anak laki-laki pertama, Linur
tidak bisa menolak permintaan ayahnya itu. Apalagi ketiga adiknya masih kecil
dan mereka harus membayar uang sekolah dan makan sehari-hari.
Semenjak saat itu, seusai pulang
sekolah dia pun bekerja serabutan. Apapun dikerjakannya asalkan memenuhi
prinsip hidupnya, yaitu tidak nyopet, tidak ngepet, dan tidak njambret.
“Asalkan halal semua saya lakukan untuk mendapatkan uang. Mau gimana lagi mbak,
orang tua mengharapkan bantuan saya sebagai anak laki-laki.” ucapnya dengan
tersenyum sambil menundukkan kepala.
Diapun mulai menerawang, mencoba
mengingat masa-masa remajanya ketika masih di desa Pohwates, kecamatan
Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro. Dengan tersenyum dia menceritakan
pengalamannya bersama sang ayah saat harus memanen asem, mangga, sawo,
kedondong, lengkuas, jahe dan lainya dan harus dijual ke pasar. Dia bercerita
bahwa saat itu dia hanya menjadi seorang buruh yang harus mengambil dan menjual
segala macam hasil tanaman-tanaman tersebut yang sebelumnya sudah dibeli oleh
seorang juragan.
Lulus SMA Linur mengaku ingin
sekali masuk ke tentara. Diapun rela mengikuti ekstrakulikuler pramuka yang
khusus melatihnya menuju cita-citanya tersebut. Namun sayang, orang tuanya tak
merestui keinginannya. Linur sangat kecewa, apalagi sebenarnya dia sudah
diterima di akademi tentara tersebut.
Tak mendapatkan restu orang tua
Linur menghadap ayahnya, meminta pendapat ayahnya untuk jalan hidupnya
selanjutnya. Ayahnya memberikan dua opsi antara kuliah dan bekerja. Namun jika
Linur memilih kuliah, sang ayah menyuruhnya mencari biaya sendiri. Berbekal
tekad dan restu dari ayahnya, Linur pun mengambil beberapa tawaran beasiswa
kuliah. Dari beberapa tawaran tersebut pilihannya jatuh ke Universitas Negeri
Malang (UM).
Awal-awal di Malang, Linur merasa
kebutuhannya semakin banyak. Dia tak bisa hanya mengandalkan uang beasiswanya
saja. Bahkan sampai dua tahun awal di Malang, dia harus puasa Daud (sehari
puasa sehari tidak). Dari situlah Linur mulai berfikir mencari uang sambil
kuliah. Jiwa entrepreneur yang sedari dulu tertanam kuat dalam angannya
kini sudah saatnya diwujudkan.
Hari itupun tiba, saat Linur
mulai menemukan usaha yang tepat baginya. Dulunya usaha yang digeluti ada tiga
yakni baju, sepatu dan tas. Namun lama kelamaan dirinya lebih nyaman ketika
menggeluti dunia tas.
Dengan sepeda pancal diapun
menuju Stasiun Malang Kota Baru, naik kereta menuju ke surabaya. Disana dia
mencari spek tas yang kuat dan tahan lama untuk selanjutnya dijual ke
teman-temannya. Namun yang terjadi malah dia menemukan seorang partner
yang mengajaknya membuat usaha tas bersama-sama. Linur sungguh bahagia,
akhirnya impiannya menjadi seorang pengusaha bisa tercapai, meskipun saat ini
masih kecil.
Dari situlah Linur mulai
mengembangkan usaha yang dirintisnya. “Saya mulai mengajak adik-adik tingkat
untuk usaha bersama. Yah semacam membantu menawarkan kepada
teman-temannya lah. Dengan begini nantinya saya ingin bersama-sama sukses
dengan teman-teman. Untuk sementara di UM sendiri sudah tersebar di fakultas Psikologi,
FIS, FIP, dan FS. Kalau di luar UM juga sudah mulai di UB dan di UIN,” katanya
dengan tersenyum.
Ketika ditanya mengenai daya
saing tas buatannya, Linur tersenyum dan menjelaskan. “Tas saya ini murah, kuat
sampai 15 kg, dan bisa pesan sesuai minat. Bahannya juga tidak main-main, saya
menggunakan kain jenis Babirate, Cordura, dan 300D.”
Tas yang diproduksi Linur
berbentuk ransel, tas samping, softcase laptop, tas kamera dan
lain-lain. Harganya benar-benar memperhatikan kondisi pasarnya yakni mahasiswa.
Harga yang dipatok sekitar lima puluh sampai seratus ribu saja.
Setelah berhasil menekuni usaha
tasnya, dia tak lupa tugasnya menjadi seorang kakak dan anak laki-laki pertama.
Diapun mengambil alih tanggung jawab orang tuanya dan membiayai adik keduanya
yang sekarang sedang kuliah di salah satu Universitas Negeri di Madura. “Saya
selalu bilang ke adik saya, kalau butuh apa-apa langsung hubungi saya nggak
usah hubungi Bapak di rumah. Saya rela ngirit nggak makan, yang penting
adik saya bisa tetap makan dan kuliah. Kalau minta Bapak kasihan. Bapak sudah
tua, untuk makan saja susah jadi saya ingin meringankan bebannya.” ucapnya
dengan tatapan mata yang tajam.
Meskipun usahanya kini sudah
bagus, jiwa pendidiknya tetap ada. Bahkan Linur berikrar kelak profesinya
adalah menjadi seorang pendidik, seorang guru, sedang usaha menjadi
sampingannya. Dia juga mengaku merasa kehidupannya berbeda denga temannya,
namun kembali lagi dia sadar bahwa semua ini sudah menjadi rencana Tuhan,
sehingga dia harus ikhlas.
Diakhir wawancara, Linur berpesan
kepada seluruh mahasiswa UM yang nasibnya mungkin sama dengan dirinya agar
senantiasa berdoa yang banyak. Selain itu dia juga berpesan agar perbanyak
teman guna melihat target-target pasaran, ikut organisasi, dan yang terakhir cepat
action. (Iin)
Comments