Cerpen--Wanita-wanita Gemblung
Di rerumputan
hijau, dengan semilir bayu bergelayut sepoi Darto mengintip Gendis.
Wajah ayu Gendis bagai sinar rembulan tanggal lima belas yang benderang.
Ayunan rambutnya melambai menyibak bayangan-bayang Darto di sore yang
pernah ia takhlukkan bersama gadis ayu itu. Bibirnya yang ranum, semakin
memikat—meleleh sewarna ceri terkena embun. Lalu tersungging senyum
yang entahlah, tapi mampu membuat detak jantung Darto terpacu kencang
tak bisa dikendalikan.
Dalam hayal tak seirama lantunan ‘laggen tayub’ di
radionya, Darto mendesah ragu. Tak mungkin semua hasrat yang dikurungnya
di lepaskan begitu saja. Wajah ayu purnama Gendis tak mungkin dibiarkan
bermadu lalu terbuang sia-sia oleh perjaka-perjaka kampung tak lebih
tampan darinya. Darto bertekad menyelinap di pori-pori hati gadis ayu
itu untuk mendapatkannya, mendapatkan secawang madu nikmat tanpa adanya
perlawanan. Alhasil tak lama menunggu, diapun berhasil menguasai seluruh
rongga hati Gendis dan meneguk madu legit milik Gendis.
Saat rembulan naik setinggi kubah langit yang
berwajah muram, gadis berumur belasan tahun itu menari diatas dipan
Darto untuk pertama kalinya, dan mempersembahkan kelopak-kelopak wangi
kasturi dari tubuhnya. Walau sedikit resah menggelayut gemulai di
tengah-tengah goyangan edannya, Gendis tak mau berhenti. Mencoba ikut
hanyut dalam senti demi senti permainan maut Darto. Gerimis yang
menebarkan hawa sejuk dari celah-celah milisenti di gubuk itu, semakin
memacu semangat Darto untuk memilah kelopak mana yang ingin
dinikmatinya. Tak lama, hanya dalam hitungan paroh malam saja, Darto dan
Gendis telah berhianat pada sebuah janji. Janji Gemblung dari pelarian
busuk dua manusia tak beradab.
Hari berganti bulan, dan malam sabit tanpa bintang
mulai menggantung malas di atas langit. Tak ada yang berubah pada
kecantikan wajah Gendis, hanya saja perut gadis ayu itu kian lama kian
membuncit. Malam-malamnya selalu pekat, sepekat warna hitam langit saat
tak ditemani bintang. Dalam malam-malamnya yang suram tanpa belaian,
Gendis meraung sejadi-jadinya. Bukan karena menyesali tarian atas
ranjangnya dengan Darto. Hanya saja badannya semakin terasa berat saja
untuk bisa melakukan tugas dapurnya sendirian. Apalagi sudah sepekan
Darto tidak mengunjunginya. Tak ada seorang ibu yang membelainya disaat
hamil seperti ini. Gendis sendirian di gubuk kecilnya, hanya ditemani
kasur dan bantal kumalnya saja.
Tak lama saat dia menangis mengeluarkan isi busuk
hatinya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Setengah terperanjat Gendis
segera membuka pintu itu, memeluk lelaki yang yang berdiri mematung di
depannya. Mata Gendis yang lentik menggoda itu semakin indah, saat
bibirnya menunggingkan senyum mawar merah yang merekah. Senyum legit
yang membawa Darto ke dalam rumah kecil tanpa barang apapun selain dipan
reot dan kasur penuh kutu busuk.
“Perutku akan segera mengecil lagi kangmas, aku akan segera melahirkan,” ucapnya sembari bergelayut di pangkuan Darto.
Senyum kecut tiba-tiba muncul di bibir Darto.
“Kenapa kau sangat senang dengan kelahiran anak itu? Bukankah
kelahirannya adalah pertanda buruk bagi hubungan kita?”
“Aku tak perduli kangmas!” jawab Gendis sinis. “Itu
semua bukan salahku. Biarlah semua orang menilaiku dengan nada kata
cela. Ini semua salah perempuan itu, salah istrimu bukan salahku.”
“Tapi bukankah …..,”
“Sudahlah kangmas, jangan kau bahas lagi cerita
ini. Lebih baik kita menikmati malam ini. Buatkan aku secangkir
kenikmatan sebelum kau meneguk kenikmatan yang lain saat aku melahirkan
nanti. Aku tau hasrat lelakimu tak bisa kau bendung, aku tak semuafik
dan sok suci seperti wanita itu. Aku rela membagimu dengan siapapun,
tapi malam ini bukankah kidung cinta menyelimuti kita. Ayo kangmas,
nikmatilah….”
Suara malam kembali sunyi. Bahkan jangkrik yang
biasanya mengerik riang menertawakan kesendirian Gendis pun menghilang.
Tak ada lagi percakapan antara dua manusia yang baru saja bersua. Hanya
sesekali suara decit dipan tua yang beradu dengan suara deruan nafas
Gendis menjadi bunyi-bunyian menyayat desir darah.
Dua hari setelahnya Gendis benar-benar melahirkan.
Dibantu oleh seorang dukun beranak di desanya, Gendis melahirkan seorang
bayi perempuan yang cantik tanpa cacat dengan lancar. Tak terlalu
banyak keluhan atau jerit sakit saat melahirkan. Bahkan saat menggendong
bayi perempuannya itu untuk yang pertama kalinya, Gendis tersenyum
haru. Entah senyuman apa itu, mungkin senyuman palsu yang dimunculkan
oleh wanita gemblung yang berpura-pura mensyukuri keutuhannya sebagai
wanita.
∞∞∞
Dua windu dengan puluhan purnama telah berlalu.
Anak Gendis kian hari kian tumbuh serupa bidadari, secantik ibu yang
mengandungnya. Namun siapa yang menyangka kisah anak itu tak seindah
rupa wajahnya. Anak itu terlalu bosan dengan kepura-puraan dan pujian
palsu yang menyiksa batinya. Dan yang paling menyakitkan, anak perempuan
yang dilahirkan oleh gendis itu adalah aku.
“Siapa yang sudi menjadi anak yang lahir dari rahim
perempuan binal seperti Gendis?” gerutuku hampir disetiap malam sambil
tersedu. Apalagi setelah Gendis menjualku kepada juragan kelapa bekas
pacarnya. Tubuhku dijadiak bulan-bulanan juragan semprol yang tak tau
adat itu. Kerakusannya memaksaku menyerahkan mahkota terpenting yang ku
milikki dengan isakan tangis tak dianggap.
Aku tak henti-hentinya mengutuki Gendis. Hampir di
setiap malam, aku menangisi nasibku sendiri, mencoba menceritakan
semuanya pada cicak yang setia menempel didindingku . Meskipun perangai
dan tutur kata Gendis sehalus sutra, namun kemunafikannya tak lekas
hilang dari pandanganku. Anak mana yang akan sanggup menghadapi semua
ini, menghadapi perangai kotor perempuan yang harus disebut ibu karena
sudah melahirkanku lalu dengan semena-mena menjualku.
Lama kelamaan aku mengetahui asal muasal
kegemblungan hidup Gendis. Semua ini tak lepas dari wanita sebelumnya
yang juga gemblung. Giarti lah asal dari semua kegemblungan itu, Lalu
menurun pada kegemblungan Gendis dan kini dia menyeretku pada
kegemblungan yang sama. Aku tertawa getir mendengar cerita itu. Sudah
tak ada harapan lagi. Kegilaan ini sepertinya sudah tertulis dalam alur
hidupku. Bahkan aku menertawakan status kehidupanku, anak yang tak jelas
mana bapak mana kakeknya.
Cerita kegemblungan ini diciptakan pertama kali
oleh seorang wanita bernama Giarti. Saat itu Giarti adalah perempuan
pengumbar kulit kuning langsat tanpa bekas luka. Baju yang dikenakannya
pun kian membangkitkan semangat mata para lelaki yang melihatnya. Dia
cantik, namun tak setia. Walaupun telah bersuami, Giarti gemar menggoda
dan terkikik bangga saat jakun-jakun kaum adam naik turun menelan ludah
menikmati lekuk tubuhnya. Apalagi saat Darto, perjaka tua yang tak mau
menikah tapi gemar merayu janda itu bertekuk lutut di hadapannya. Darto
berwajah tampan dan tubuhnya kekar, tentu akan bisa memuaskan
keinginannya yang menggebu untuk menciduk keringat-keringat cinta yang
memuncak.
Kegilaan Giarti kepada Darto semakin menjadi.
Giartipun lari tunggang langgang dari pelukan Kartono suaminya, membawa
serta Gendis gadis ayu buah cintanya dengan Kartono, lalu diam-diam
menikah dengan Darto. Mulanya hidup Giarti bahagia-bahagia saja, apalagi
impiannya menikah dengan berondong muda nan gagah itu telah tercipta.
Namun hatinya patah berkeping-keping kala mendapati suami barunya itu
bermain gila dengan putri semata wayangnya Gendis. Tak bisa dihindari
lagi, kobaran api amarah Giarti menjadi-jadi. Cakarnya hampir mencabik
sebagian wajah lelaki edan yang tega menyeruput gelas madu milik
anaknya.
Namun kegaduhan itu mereda, tiba-tiba seember darah
sudah menggenang di lantai. Mata Darto terbelalak kaget, sementara
tangan Gendis berlumuran darah. Giarti dibunuh oleh anaknya sendiri,
mati di tangan Gendis.
Kini rangkaian cerita itu seakan membayangiku.
Cerita wanita-wanita gemblung yang beradu nyawa hanya untuk lelaki
seperti Darto – ayah sekaligus kakek tiriku. Lebih menyakitkannnya lagi,
aku menjadi dinasti wanita gemblung yang ketiga. Setiap hari aku harus
mengerlingkan mataku pada lelaki-lelaki yang haus percikan kembang api
cinta. Aku selalu tersenyum semanis mungkin, saat lelaki-lelaki itu
memandangi seluruh tubuhku. Pun harus meneguk pahit sebagai wanita
jalang yang hina, saat lelaki-lelaki yang berlagak sebagai manusia dari
langit itu memandang jijik kepadaku.
Aku memang menjual diriku, itupun karena
keserakahan wanita gemblung yang mengandungku. Gendis menjadikanku
wanita jalang setelah dia sendiri menjadi jalang. Jangan tanyaka Darto
lagi, karena dia sudah mati dikeroyok oleh warga desa karena
mengangkangi gadis kampung yang masih bau kencur. Itulah alasan gila
Gendis menjualku, katanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kami
sehari-hari.
Puncaknya saat purnama ke sebelas bernaung di atap
bumi. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Mungkin perasaan jijik
itulah yang menyakitiku. Menimbulkan rasa takut yang teramat saat
bayangan maut kelak tiba. Tiada imbalan yang pantas diberikan kepadaku
di hari pengadilan kelak selain api jahannam. Tusukan-tusukan tombak di
titik rahasiaku. Sabetan-sabetan pedang di dadaku yang telah dijelajahi
pengembara berahi itu. Sayatan-sayatan silet pada setangkup mawar
bibirku yang telah dilumat anjing-anjing jalanan. Dan ini semua
gara-gara Gendis.
“Aku harus menghentikan ini. Aku muak menjadi
wanita jalang. Cukuplah aku menjadi wanita gemblung yang tak pernah
menganggap orang yang mengandungku sebagai ibu,” batinku.
Akhirnya pada suatu malam setelah mandi kembang,
aku merapal mantra-mantra yang ku pelajari dari dukun. Ku genggam erat
boneka jerami yang sedari tadi sudah ku asap-asapkan di atas tungku
kemenyan. Ini harus menjadi pelajaran yang menyakitkan bagi wanita
gemblung itu. Dia harus merasakan sakit hatiku yang teramat. Dendam
kesumat karena sudah berani-beraninya melahirkanku ke dunia dan
menjadikanku wanita gemblung berikutnya.
Dengan amarah yang memuncak ku tusukkan paku di
genggamanku ke boneka jerami. Seketika itu ku dengar teriakan wanita
jalang itu. Jelas aku tau pasti apa yang terjadi, tapi aku memilih diam
dan meneruskan ritual setan untuk menyakitinya. Ku tusukkan paku itu
berkali-kali sampai tak terdengar lagi teriakannya. Wanita itu pasti
sudah mati. Aku tersenyum sinis merayakan kematiannya. Perlahan ku
bersihkan kamarku yang gelap itu dan berpura-pura panik menuju kamar
sebelah, kamar tempat ibuku seharusnya nyenyak tidur.
Di kamar itu sudah beberapa orang berkumpul, panik
dan ketakutan melihat kondisi wanita yang mereka sebut ibuku terbujur
kaku tanpa nyawa. Aku sendiri hanya diam memandanginya. Merelakan
kepergiannya tanpa sedikitpun tetesan bulir air mata.
Tiba-tiba suara itu kembali menyibak pandanganku,
membuatnya sedikit kabur dan memunculkan bayangan baru. Bayangan hitam
saat pertama kali Gendis menjual tubuh mungilku. Hatiku perih, sakit dan
teriris. Jiwaku kerap meronta dalam pesakitan panjang yang terbalut
dendam. “Aku harus memutus rantai dinasti wanita gemblung ini,” gumamku
lirih.
Dengan serta merta ku ambil sebilah pisau.
Menggenggamnya erat dan menusukkannya tepat di perutku sendiri. Aku
tersenyum puas di balik rasa sakit yang perlahan ku rasakan. Ku dengar
jerit beberapa orang yang menyaksikan adegan gilaku ini, aku tak
perduli. Aku adalah wanita gemblung terakhir yang berjasa. Aku telah
memutus rantai wanita gemblung yang pernah ada.
Comments