Cerpen--Kata-Kata Cinta Untuk Adinda

Jangan pernah kau tanyakan tentang cinta kepadaku. Cinta adalah sebuah bualan murahan yang tidak akan pernah mau kubahas lagi dalam hidupku. Untuk apa memikirkan cinta yang telah merenggut seluruh jiwaku dan menyakiti tulang-tulang sendiku. Untuk apa membahas kesakitan-kesakitan rindu yang hanya akan terbalaskan oleh cacian menyakitkan yang akan menguruskan tubuhku.
Aku tidak pernah mau lagi membahas soal cinta yang telah menghancurkan hidupku. Sampai tiba-tiba seorang anak kecil yang kurus dan mungil menghampiriku. Wajahnya pucat dan nampak menanggung beban berat. Dia menanyakanku soal cinta dan kasih sayang. Aku tak mau mendengarnya dan segera pergi meninggalkannya yang sedang duduk di batang kayu di suatu senja.
Anganku melayang mengingat betapa sakitnya hatiku saat pertama kali aku mulai mabuk asamara. Banyak orang bercerita tentang keindahan cinta. Akupun juga sering iri memandang sahabat-sahabatku yang sedang di rundung cinta. Bagiku cinta itu tak ubahnya cinta monyet yang hanya akan memakan pisang-pisang matang yang dicuri dari kebun seorang petani.
Aku mulai berpura-pura sibuk menarikan jariku bersama goyangan-goyangan lentur pulpen di genggamannya. Beratus kali bahkan tak terhitung banyaknya aku mengutuki lelaki yang hanya berparas tampan yang sempat aku cintai. Apakah yang ada di benakku saat itu. Cintaku terbalas hanya karena aku masih memiliki indahnya mahkota perempuan yang selalu dilirik para kumbang jahanam seperti dia.
Anak kecil itu kembali mengagetkanku. Wajahnya yang sayu itu sempat menggetarkan jiwaku. Tapi aku mencoba bertahan. Aku tak mau terbius oleh kepolosan yang dinampakkannya dan pada akhirnya kembali membahas tentang cinta yang sangat ku benci.
Angin dingin mulai menyelinap masuk dari sela-sela jendela. Suara gemeretak kecil timbul dalam kesunyian. Aku sempat melihat semburat merah itu perlahan menghilang dan berubah gelap. Remang-remang kembali ku pandangi bocah kecil yang kini duduk membisu di pojok ruang kerjaku.
Pandangannya tajam menembus sebagian ulu hatiku. Aku masih mencoba bertahan dan mengajaknya pergi menuju ruang tengah yang biasa kami gunakan untuk makan. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya memasak mie instan kesukaannya.
Beberapa menit setelah mie itu tersaji kami masih dalam bisu. Aku harusnya yang memulai pembicaraan yang serius ini. Aku tahu betapa sakit hatinya dengan sikapku selama ini. Dia adalah karunia yang tak pernah ku inginkan. Aku seringkali memperlakukannya secara kasar. Bahkan sangat kasar.
“Kenapa kau tak memakan mie buatan ibu? Apakah kau tak lapar?”
Dia tak menjawab sedikitpun. Bahkan kini dia tak mau memandangi wajahku yang mencoba menghalusinya. Mungkin dendamnya sudah mendarah daging. Atau mungkin ini adalah ungkapan kebenciannya dengan sikapku yang telah kaku dan keras menjauhkannya dari orang-orang yang dikasihinya.
Jika dia bisa bicara mungkin dia akan memakiku. Mungkin dia akan mengatakan kepadaku dengan panggilan penjahat. Atau mungkin dia akan meneriakiku ibu kejam yang mengasingkan anaknya di sebuah desa terpencil jauh dari orang-orang yang menenagkan hatinya.
Aku menyerah dan mulai mendekatinya. Ku gendong tubuh mungilnya yang semakin hari semakin ringan saja. Ku langkahkan kakiku menerobos ruang-ruang kecil di rumah tua ini menuju halaman depan yang remang-remang tanpa sinar lampu.
Tak ku sangka malam ini adalah malam purnama. Bulan bersinar penuh dengan taburan bintang yang menemaninya. Sejenak ku pandangi langit indah itu dan memberikan isyarat pada si kecilku untuk juga memandanginya. Diapun mengerti dan mengikutiku memandangi langit. Sekali lagi tanpa suara, karena dia tidak bisa bicara.
Adinda adalah nama anakku yang kini berada di pelukanku. Dia cacat bisu sejak lahir. Itu mungkin karena dulu waktu aku mengandungnya aku sempat mengkonsumsi obat-obatan. Tujuannya hanya satu yaitu menggugurkannya. Apa yang bisa dilakukan oleh gadis berumur delapan belas tahun saat itu, ketika dia mengetahui dirinya hamil diluar nikah selain mengubur aibnya.
Sampai pada akhirnya malaikat kecilku itupun lahir. Dulu aku tak pernah menganggapnya malaikat kecil. Aku sering mengutukinya dan tak mengakuinya. Aku menganggapnya setan kecil yang hadir dan merusak masa-masa indahku.
Kesalahanku harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Para tetangga, teman-teman, bahkan keluargaku sendiri menghina perbuatanku. Perbuatan bejat kata mereka. Aku yang sudah terluka dalam harus menanggung semuanya sendiri. Sementara lelaki bermulut manis itu dengan santainya melarikan diri dan memulai hidup barunya di ibu kota. Mungkin masa depannya akan cerah. Tak seperti aku dan adinda yang harus sengsara seperti ini.
Aku mulai mendekap erat tubuh adinda. Air mataku mengalir seiring dengan bayangan-bayangan masa kelamku dulu. Aku tersipu mendapati Adinda memandangiku. Aku mengerti bahwa dia sedang menghiburku. Bagaimanapun aku adalah ibunya, aku paham setiap isyarat yang diucapkannya melalui pandangan matanya.
“Adinda apakah kau benar-benar ingin tahu tentang ayahmu?” tanyaku dengan terisak kepadanya.
Dia mengangguk perlahan. Dia sudah berumur enam tahun sekarang. Di sekolah setiap anak pasti ditanyai siapa ayah dan ibunya. Aku tahu dia sangat tersiksa dengan hal itu. Dan mungkin dia marah padaku karena aku tak pernah menjawab pertanyaannya.
“Ayahmu adalah seorang laki-laki yang sangat tampan. Wajahnya mirip dengan wajahmu. Ayahmu bernama Ardi seorang yang gagah yang membuat ibu jatuh cinta pada saat itu. Maafkan aku nak, aku telah membuatmu terluka dengan menyimpan ini semua.”
Diapun terdiam dengan mata sendu. Aku paham dia sedang mengucapkan terimakasih padaku. Air matanya juga meleleh. Mungkin dia sedang meminta maaf padaku karena dia sudah membuka luka lamaku. Ku peluk erat dia. Kami beradu dalam dinginnya malam ini. Dan inilah untuk pertama kalinya aku berbicara soal cinta setelah tujuh tahun lamanya mengubur kata-kata itu dalam-dalam. (Iin)


Comments

Popular Posts