Cerpen--Sajian Bola Mata
Si uncup mulai
kegirangan. Tubuhnya meliuk seakan tiada senja yang akan menghampiri.
Tabuhan-tabuhan gendang semakin menjadi, memainkan irama penuh kekuatan magis
yang menyihir sebagian lelaki tambun. Otak mereka terkoyak, matanya melotot
sementara mulut menganga dan lidah terjulur-julur bagai ular kobra.
Di panggung
yang mulai bergeretak itu, sang sinden mulai menggerakkan seluruh bagian
tubuhnya. Matanya bundar belok dengan sinar mengkilat-kilat. Sementara tubuhnya
langsing namun pada bagian-bagian tertentu menonjol indah.
Siapa yang tak
tergila-gila dengan wanita sinden ini. Janda kembang yang terkenal dengan
kemolekannya serta goyangan mautnya. Lesung pipit indah bagai hipnotis yang
membuat mata lelaki yang melihatnya bisa merasa terbang ke nirwana. Atau
sekedar senyum pahit madunya yang bisa membuat para wanita-wanita bersuami
merasa was-was olehnya. Beberapa kali adu jotos terjadi disetiap penampilannya.
Berebut tempat terdepan untuk menonton sinden idola menjadi hal yang lumrah
terjadi disetiap pertunjukannya.
∞∞∞
Pagi ini Uncup
bangun sangat pagi. Dengan mengucek-ngucek matanya yang masih lengket, diapun
berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi. Didapatinya Mak Ijah, Emaknya
yang sudah mulai tua sedang memberi makan ayam-ayamnya yang sengaja dibebaskan
di halaman belakang rumah.
Beberapa saat Uncup memandang Mak Ijah, lalu
berpaling dan masuk ke kamar mandi yang tanpa atap dan dindingnya terbuat dari
rajutan bambu setinggi hidung Uncup. Di tengah mandi, ucup mulai membayangkan
Sinden yang beberapa hari ini digandrunginya. Matanya melek merem, pinggulnya
mulai bergoyang seiring guyuran demi guyuran air dari gayung ditangannya.
Hatinya penuh dengan bunga-bunga cinta yang seakan-akan mengalahkan harumnya sabun
pelok, teman mandinya itu.
Disaat
kesegaran merasuk sampai jantungnya, didapatinya sinden itu di depan matanya.
Uncup membelalak, mulutnya menganga seakan tak percaya. Janda kembang itu bergelayut
manja seakan-akan membisikkan janji cinta dan keinginannya bertemu di panggung
Pesta Rakyat siang ini. Uncup tersenyum puas. Buru-buru dia mengeringkan
tubuhnya dengan sarung. Sedikit berlari dia masuk kedalam rumah yang dihuninya
hanya dengan Mak Ijah.
“Mak, baju
cokelatku Mak taruh dimana?”
Mak Ijah
berdehem. Dihentikannya aktivitas memberi makan ayam yang dari tadi asyik
dilakukannya. “Mau kemana Le?” tanya Mak Ijah sedikit kaget karena jarang
sekali Uncup menggunakan baju cokelat andalannya itu, jika tidak ada sesuatu
yang sangat penting.
“Mau menemui
calon mantumu Mak,” jawab Uncup sekenanya.
Mak Ijah kaget.
Diapun bergegas masuk ke dalam rumahnya. Buru-buru dicarinya anak lelaki semata
wayangnya. Ketika menemukan tubuh kurus kering anaknya itu, mak ijah menatap
penuh nanar. “Apakah kau sudah menemukan calon mantuku le?”
Uncup
mengangguk santai. Cepat-cepat mak ijah beranjak masuk ke kamar tengahnya dan
bergegas membuka kotak kayu yang di dalamnya terdapat baju cokelat milik uncup.
Wajah uncup kini berseri-seri memandangi tubuhnya yang telah berbaju cokelat
nampak gagah di dalam kaca. Setelah puas memandangi wajahnya yang penuh aura
cinta, Uncup pun bergegas menuju Balai Desa untuk menemui sinden pujaan hatinya
itu.
Tak seberapa
jauh Uncup berjalan dari rumahnya, suara gelegar Toak dari Balai Desa mulai
terdengar. Pesta Rakyat yang biasa digelar setiap waktu panen besar mulai
dipadati warga. Pedagang-pedagang dadakan mulai berdatangan.
Permainan-permainan judi berhadiah juga menjadi marak, banyak dikerumuni
anak-anak maupun pemuda-pemuda tanggung. Namun pusat perhatian pesta rakyat itu
tetap berfokus pada panggung utama. Panggung dimana Rina, sinden dengan
goyangan penuh aura itu akan menunjukkan goyangannya.
Hari semakin
terik dan panas. Tepat matahari di ubun-ubun Uncup mengusap keringat yang
bercucuran di keningnya. Hatinya mulai gusar, setiap detik perasaan rindu akan
kehadiran bidadari tercintanya selalu menghantui. Ini sudah hampir dua jam dia
menunggu, tapi tanda-tanda akan hadirnya si sinden pujaan belum juga muncul.
Dengan berat hati Uncup mulai mendendangkan suara-suara tabuhan yang biasa
mengiringi goyangan sang sinden tercinta dari mulutnya. Semacam musik mulut
yang agak tak beraturan.
Hampir sekitar
dua jam berikutnya wajah Uncup mulai berseri. Matanya menatap nanar wajah molek
yang berdiri tepat di depan bola matanya. Hatinya berjoget riang seakan-akan
bidadari di depannya itu akan memainkan persembahan cinta untuknya. Uncup mulai
mengangkat tangannya sebatas pundak. Persis seperti gerakan para lelaki bali
yang sedang memainkan tari kecak.
“Bagaimana
kabarmu kangmas?” Ucap Rina lirih tepat di telinga Uncup
Uncup tersenyum
sambil terus memainkan goyangan lamban sesuai irama musik yang juga diiringi
goyangan Rina. “Aku merindukanmu dek Rina, apakah engkau tau betapa cintanya
aku kepadamu?”
Rina tak
menjawab. Namun seutas senyum yang terpancar dibalik lesung pipit di kedua
pipinya sudah membuat Uncup puas.
Alunan lembut musik
yang dimainkan tiba-tiba berubah menjadi semakin keras dan menghentak. Wajah
Rina yang tepat berada di depan bola mata Uncup mulai memudar. Uncup risau
dengan pengelihatannya, namun dia terus berusaha tersenyum sampai suatu hal
yang sangat aneh terjadi. Tiba-tiba birunya langit berubah menjadi merah.
Semakin merah dan merah yang sangat kelam seakan-akan darah telah tumpah
dipelatarannya. Hati uncup terasa panas penuh gelora, goyangannya yang semula
berirama lamban kini menjadi gerakan-gerakan melonjak dengan teriakan yang
mendentum-dentum hebat. Orang-orang disekitar Uncup memandang dengan penuh
ketakjuban, sorak-sorai mulai membahana dari berbagai sudut. Seakan-akan Roh
para leluhur telah merasuk menjadi satu seiring dengan goyangan Uncup itu.
Tak lama
kemudian uncup mulai hilang kesadarannya. Dia terus saja bergoyang,
membayangkan Rina yang juga sedang asyik bergoyang dengannya. Ditenganh
goyangan Uncup yang penuh dengan kekuatan magis itu, tiba-tiba langit berubah
menjadi gelap. Angin Berhembus kencang menyapu beberapa sudut Balai Desa.
Sekonyong-konyong para penonton membuyarkan diri, mencari tempat yang aman bagi
dirinya untuk berlindung. Namun tidak bagi uncup, dia terus saja bergoyang seakan-akan
langit telah merestuinya untuk melakukan persembahan kepada Rina, sinden
dambaan yang sedang berada di depannya.
Sudah hampir
seharian Uncup melakukan goyangan mistis dibawah langit yang gelap. Wajahnya
sudah hampir berubah, tak layak dipandang mata. Matanya terlihat menonjol
hampir-hampir keluar dari kelopak mata, tempat matanya bersarang. Uncup semakin
menjadi, menggoyangkan pinggulnya dengan cepat. Ke kanan, ke kiri, ke depan, ke
belakang, dan ke berbagai arah. Lidahnya yang tadi hanya menjulur-julur saja
kini diikuti suara penuh semangat. Matanya pun semakin melotot-melotot dan
hampir terjatuh.
Hujan semakin
deras. Kilat semakin menyambar-nyambar seiring dengan ritual goyangan cinta
yang dilakukan Uncup. Kini uncup tak perduli lagi apa yang dilakukannya. Dia
mulai lupa bahwa Rina telah memanggilinya berkali-kali, dan menyuruhnya untuk
berhenti. Dia bagai tersihir oleh ritualnya sendiri, dia tidak bisa berhenti
bergoyang sambil menjulur-julurkan lidah dan memelototkan matanya. Beberapa
kali dentuman bertubi-tubi telah dimunculkan sang petir, hingga seluruh warga
desa yang ketakutan berkali-kali mengumandangkan alunan Adzan, namun hal itu
tak kunjung membuat keadaan membaik. Justru hal yang sangat mengagetkan warga
pun terjadi, sebuah petir yang keras dan ganas akhirnya menyambar tubuh Uncup
yang sedang asyik bergoyang. Langsung saja Uncup ambruk dengan lidah yang masih
menjulur-julur dan mata yang tetap melotot.
Setelah hal itu
terjadi, tiba-tiba langit mereda. Bagai seorang anak kecil yang kelaparan dan
telah terpuaskan oleh masakaan ibunya, langitpun kembali tenang. Beberapa saat
kemudian, perlahan satu per satu warga bermunculan. Merekapun gempar dengan sesosok
manusia yang menggosong tepat ditengah-tengah lapangan Balai Desa. Ada yang
diam terpaku, ada yang melotot menyaksikan mayatnya, ada pula yang buru-buru
berlari memanggili Mak Ijah di rumahnya. Mayat itu adalah mayat Uncup yang
disambar petir.
Beberapa warga
kembali berkasak-kusuk. Mererka mulai menceritakan kembali cerita
bertahun-tahun yang lalu, yang telah dikubur oleh masa. Uncup adalah lelaki
perjaka tua yang tinggal di pelosok desa. Rumahnya agak berjauhan dengan
beberapa tetangga yang lain. Dulunya, Uncup adalah seorang guru yang mengajar
di sebuah SMP pinggiran di desanya. Sebagai guru, perkenalannya dengan Rina
menjadi sebuah sensasi yang menggemparkan warga. Banyak warga yang menduga
bahwa Uncup terkena guna-guna, sehingga dia mau menjalin hubungan dengan Rina
janda tua yang buruk rupa.
Rina dulunya
adalah seorang sinden yang sangat baik hati. Wajahnya tidak terlalu cantik,
namun bisa dikatakan sangat buruk jika dibandingkan dengan sinden-sinden yang
lain. Goyangannya pun tidak diminati oleh para penonton, apalagi para
laki-laki. Bahkan disetiap penampilannya, Rina mendapatkan cacian serta hujatan
dari para penonton. Disaat itulah, hati Rina mulai merasa sakit. Rina merasa
bahwa dunia ini tidak adil kepadanya, dan pada akhirnya Rina mendatangi seorang
dukun sakti yang merubahnya menjadi primadona dikalangan para sinden.
Setelah hari
itu, disetiap penampilannya Rina selalu dielu-elukan oleh seluruh penontonnya
yang sebagian besar adalah para laki-laki. Hatinya puas melihat sajian bola
mata mereka yang memelototi setiap inci lekuk goyangannya. Termasuk Uncup,
lelaki yang sangat dicintaainya. Bagi Rina, Uncup adalah sosok laki-laki yang
sangat menawan. Wajahnya manis, serta perilakunya sangat sopan. Apalagi dia
adalah seorang Guru yang dapat menjadi panutan siswanya, tentu juga akan dapat
menjadi imam keluarganya kelak.
Para wanita
mulai geram dengan perilaku Rina setelah hari itu. Setelah para suami-suami
mereka jarang pulang dan hanya memadati rumah Rina disetiap malamnya. Sampai-sampai
pada suatu hari disaat Rina sedang manggung, seorang perempuan menusuknya dari
belakang hingga dia mati. Sejak saat itu, Uncup mulai hilang warasnya. Kadang
dia menangis meraung-raung sendiri, kadang dia tertawa-tawa, kadang dia
berguling-guling atau bahkan menghilang tak tau arah. Begitu pula dengan yang
terjadi pada hari ini. Ketika mendengar tentang Pesta Rakyat yang akan diadakan
pagi ini, Uncup bangun pagi dengan penuh semangat dan beranjak menuju Balai
Desa. Namun naas, hidupnya hari ini harus berakhir di dalam angan-angannya
sendiri ketika dia sedang membayangkan bergoyang dengan Rina yang sebenarnya
sudah tiada.
Awan mulai
menampakkan auranya. Wajah langit yang muram kini berangsur tersenyum meski tak
sempurna. Tubuh Uncup yang gosong bagai kambing bakar itu kini menjadi tontonan
warga. Mak ijah yang mendapat kabar dari beberapa warga berhambur lari menuju
balai desa tempat pesta rakyat digelar. Tubuhnya mulai lunglai, air matanya
perlahan menetes mendapati tubuh Uncup, anak semata wayangnya gosong disambar
petir. Dari kasak-kusuk warga sudah beberapa kali Uncup diperingatkan agar
tidak menari-nari ditengah guyur deras
hujan. Tapi uncup seakan tuli tak mendengar dan tak peduli dengan peringatan
itu. Hingga sebuah petir itu menyambar-nyambar dan akhirnya mengenai tubuh
Uncup yang menari girang dibawah guyuran air hujan.
----T
A M A T----
Comments