Cerpen--Mawar Orange Biru
Fajar
menyingsing mengintip lembut pepohonan. Udara bersemangat membuat alunan musik
dari gesekan daun-daunan kering yang berjatuhan. Suara kokok ayam menambah
semarak pagi ini. Ku buka jendela kamarku, sekejap harum mawar merah terasa di
indera penciumanku. Ku geliatkan tubuhku, segala malas berangsur luntur,
perlahan mataku terasa terang menatap indahnya pagi ini.
Sudah
dua jam aku menunggu ibu di dapur, tapi tak kudapati sosok ibuku. Akupun
menyerah, beranjak dan menuju kamar mandi. Usai mandi aku bersiap untuk pergi
ke sekolah. Bajuku sudah rapi, rok biru, baju putih dan dasi berwarna senada
dengan warna rok ku. Ku tuju dapur untuk mencari ibu. Di benakku sudah
kubayangkan beberapa makanan yang enak hasil masakan ibu.
Ibu
tak nampak, ku kira ibu pasti sedang di pasar. Namun ada sedikit rasa aneh yang
menyelinap di benakku, Ibu tak pernah sepagi ini pergi dari rumah walaupun itu
hanya ke Pasar.
Lapar
rasanya perutku ini. Aku tidak berfikir lagi tentang ibu, aku harus segera
mencari makanan untuk bisa mengganjal rasa perih perutku ini. Ku lihat sosok
hitam itu duduk membelakangiku. Bapak tiriku yang pengangguran itu mulai
mengepulkan asap rokok. Sebenarnya aku jengah dengan perilakunya itu. Tapi aku
hanyalah seorang anak SMP yang dianggap bau kecur dan tidak diperbolehkan
berpendapat sedikitpun.
Rasa
laparku semakin menyeruak. Aku tak peduli dengan tua bangka tak berpenghasilan
itu. Tanpa memandangnya sedikitpun ku beranjak menyiduk nasi dengan enthong
kayu dan beberapa osengan kangkung yang telah dipersiapkan ibu di meja dapur.
“Nadia...
Buatkan Bapak kopi!” ucapnya dengan kasar
Aku
tak menjawab juga tak peduli seakan tak pernah mendengar ucapannya sama sekali.
Secepat mungkin aku pergi dari ruangan kotor yang semakin kotor karena adanya Bapak
tiriku itu.
Tiba-tiba
langkahku terhenti. Cengkeraman kuat dan kasar mendarat di pundakku. Aku
diseret beberapa meter dari tempatku berdiri semula. Tamparan keras mendarat di
pipiku. Aku dianiaya Bapak tiriku.
Beberapa
kali aku meraung kesakitan. Beberapa kali teriakan memelas ku serukan. Tak ada
yang menolong, tak ada yang mendengar, aku menangis. Tubuh kotor itu mencabik
seluruh bagian tubuhku. Seragamku terkoyak, bajingan itu telah merampas
mahkotaku. Ku panggili nama ibu. Terus ku panggili hingga suaraku serak tak
berbunyi.
∞∞∞
Polisi
telah mencari Burhan, Bapak Tiri jahanam yang telah tega memperkosa anak
tirinya. Aku mulai sadar setelah beberapa hari pingsan di Puskesmas desa. Seluruh
kerabatku menangisi nasib dan keadaanku. Aku tak menangis sedikitpun. Aku telah
mati rasa, semua kehancuran yang ku alami sangat berat bagiku, hingga aku tak
sanggup untuk menangis lagi.
Sore
itu aku duduk sendirian dipelataran rumahku. Rumahku terletak di tengah sawah,
jauh dari rumah tetangga. Aku sendirian saat itu. Ibu belum juga kembali
semenjak kejadian nista itu menimpaku. Entah kemana perginya, seakan dia lenyap
ditelan bumi. Beberapa tetanggaku menawarkan untuk tinggal bersama mereka
sementara ibu tak ada. Tapi aku menolaknya. Aku tak mau mereka terbebani olehku.
Sudah
empat hari ibu tidak pulang. Aku mencoba menerka-nerka dimana sebenarnya ibu
berada. Tiba-tiba bayangan hitam itu muncul. Suara tangisan dan erangan
perempuan seakan menderu di telingaku. Suasana nampak sangat panas, merah
berdarah. Percekcokan tak terhindarkan lagi. Tamparan dan hantaman berkali-kali
terhujam. Tak jelas bayangan apa itu. Aku bingung apa sebenarnya yang baru saja
terlintas di bayanganku.
“Aahh...
mungkin ini hanya sebuah trauma,” ucapku dalam hati
Malam
pun mulai datang. Rasa sunyi mulai menyeruak menghampiri kesendirianku.
Bayangan wajah ibu terlintas di otakku. Ibu adalah perempuan yang sangat tegar.
Aku melihat sendiri dia berkali-kali dijual oleh bapak kepada pria hidung
belang. Aku tak kuasa menahan tangis jika melihat hal itu.
“Oooh
Tuhan, kenapa kau berikan kehidupan yang sungguh mengerikan ini kepadaku?
Kenapa Tuhan? Dimana ibuku?” keluhku
Tiba-tiba
sosok putih itu datang. Sosok kecil seukuran botol air mineral dengan dandanan
cantik layaknya peri di cerita-cerita dongeng. Aku terkesima ku tajamkan
mataku. Ku tatap lekat tak berkedip.
“Nadia....
Nadiaa... Nadia...”
“Siapa
kau?”
“Aku
akan menolongmu. Asalkan kau melakukan satu hal untuk ku!”
“Hal
apa itu? Kau akan membantu ku menemukan ibuku?”
“Tentu
saja aku akan membantumu menemukan ibumu. Asalkan kau mau melakukan suatu hal
untukku!”
“Apa
itu?”
“Sentuh
dan tangkaplah aku. Tempatkanlah aku pada semangkuk taburan bunga mawar
berwarna orange dan biru. Lalu letakkan aku di meja tempat tidurmu”
“Baiklah
asalkan kau benar-benar mau menolongku”
Keesokan
harinya aku yang masih sedikit lemah mencoba menerobos ke dalam hutan tak jauh
dari rumahku. Bunga mawar orange dan biru yang diminta peri itu sungguh sulit
di cari. Aku teringat hanya ada satu tangkai di dalam hutan. Memang agak dalam
tapi demi ibuku akan ku lakukan hal itu.
Perjalananku
beberapa kali di hadang oleh kawanan ular dan hewan buas lainnya. Aku sedikit
gentar dan takut, tapi tekadku untuk bisa menemukan ibuku tak surut. Ku
langkahkan kakiku terus menjelajahi seisi hutan. Sampai ku lihat sesosok wanita
cantik sedang berjalan sendirian. Bajunya serba putih. Rambutnya terurai
panjang. Bajunya seakan terbuat dari kain sutra. Dari belakang dia nampak
cantik sekali. Ku ikuti wanita itu, dan pada saat ku dekati tiba-tiba sosok itu
menghilang, lenyap entah kemana.
Aku
mulai ketakutan. Badanku menggigil. Keringat dinginku bercucuran. Sekejap
suasana hening. Kakiku melemas tak kuat menyangga berat tubuhku. Aku tersungkur
di bawah pohon besar di dalam hutan itu.
Ku
pejamkan mataku saat aku mulai mendengar keributan itu lagi. Tangisan dan
jeritan menggema di mana-mana. Aku tak kuasa melihat apa yang terjadi. Tapi aku
ingin tau apa yang sebenarnya telah terjadi.
Perlahan
ku buka mataku. Dan aku tersentak melihat pemandangan di hadapanku. Seakan-akan
aku sedang melihat adegan teater atau drama di depan panggung. Tepat di depan
mataku, seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster di pukuli oleh seorang
lelaki yang nampak bringas. Wanita itu menjerit dan mengucapkan beberapa
kalimat.
“Jangan
Mas, jangan bunuh aku. Aku sedang hamil Mas. Anak ini anakmu, darah dagingmu
Mas! Jangan... jangan..!” ucap wanita itu memelas
Lelaki
itu tak peduli, dia terus saja memukuli wanita itu. Beberapa kali hantaman di
perut dan dada diluncurkan kepada wanita itu. Belum lagi tinjuan dan tamparan
harus diterima wanita itu di wajahnya. Darah segar menetes di mana-mana. Wanita
itu akhirnya mati bersimbah darah di hujam oleh parang sang lelaki.
Dengan
santainya lelaki itu tertawa puas setelah menghabisi perempuan di hadapannya.
Di pergi berlenggang seakan tak pernah melakukan dosa. Kupandangi setiap
jengkal langkah lelaki itu. Tiba-tiba nafasku sedikit tersengal. Sosok lelaki
itu berubah menjadi Burhan, Bapak tiriku.
Buru-buru
ku hampiri mayat wanita yang tersungkut tertelungkup itu. Kubalikkan tubuhnya
dan akupun menangis sejadi-jadinya. Wanita itu adalah ibuku.
“Ooh
mengapa begitu bodohnya aku? Mengapa aku tadi diam saja saat melihat jahanam
itu memukuli ibuku? Kenapa?”
“Jangan
menangis Nadia, ini semua bukan salahmu. Ini semua adalah cobaan dari Tuhan
yang harus kamu jalani. Ikhlaskan kematian Ibumu. Biarkan dia tenang di sana
bersama adikmu!”
“Tapi
peri, kenapa? Kenapa harus begini jalan hidup ibuku? Kenapa peri?”
“Jangan
tanyakan mengapa. Cepatlah kau bangkit membawa mayat ibumu dan segera
kuburkanlah. Kasihan ibumu.”
Aku
terdiam. Benar kata peri, aku tak boleh terus menangis. Ini sudah tak ada
gunanya. Akupun dengan segera mengangkat mayat ibuku yang bersimbah darah.
Tanpa ku sadari tiba-tiba cahaya terang putih menyelimuti kami. Aku tepukau
dengan keindahan cahaya itu. Seakan tubuhku menjadi ringan. Dengan cepat aku
bisa sampai di ujung hutan. Ku pandangi jalan yang telah ku lewati tadi bersama
mayat ibuku. Ooh betapa kagetnya aku. Jejak-jejak langkahku seluruhnya berubah
menjadi taman bunga mawar berwarna orange dan biru.
“Aku
mengerti ibu, mungkin inilah akhir deritamu dan juga deritaku. Biarlah kita
menyatu dalam keabadian Tuhan di Syurganya.” Iin
Comments