Cerpen--Wanita Tungku Tua
Tangan-tangan hitam
legam itu indah menari menyusuri daun-daun hijau tua yang hampir kusam.
Semerbak harum bunga kopi sesekali menyibak penciumannya. Sekejap rasa lelah
dan hausnya terbayar. Pikiran tenang menjalar bagai virus kuat yang mengoyak
kembali semangatnya.
Bocah mungil nan
kucal itu mendesak. Nampaknya lelah sudah hinggap di pelupuk matanya. Beberapa
kali tangannya mengoyak ujung baju Emaknya, seakan merengek-rengek dibelikan
jajanan atau mainan seperti yang biasanya dilakukan anak seusianya. Namun kali
ini bukan itu yang dimintanya. Rupanya seharian membantu ibunya memetik kopi
membuatnya lelah dan ingin segera pulang menikmati makan siang yang entah apa
lauknya.
“Mak aku aku lapar ayo pulang, ayo pulang!”
“Ya sebentar lagi nak, satu pohon lagi dan kita akan segera
pulang!”
“Loh kok satu pohon lagi? Sukmo lapar mak lapar!” jeritnya sedikit
merengek
Perempuan itu mendesis, seakan tidak suka dengan perilaku nakal
anaknya. Si anak langsung diam, memandang lekat wajah Emaknya. Beberapa detik
kemudian perempuan itu mendengus, mencoba mengalah pada anaknya, “Ya sudah, ayo
kita pulang!”
∞∞∞
“Mbakyu, Mas Tarjo memang sudah tidak cinta lagi sama Ema. Mas Tarjo
itu mendiamkan Ema. Ema masak sayur dia makan, ema masak daging dia makan, Ema
masak apa saja dia makan!” ucap Ema dengan nada meninggi.
“Loh kamu ini kok aneh dek, suami nurut kayak gitu kok dibilang
nggak cinta. Harusnya kamu itu bersyukur punya suami dan keluarga yang begitu
indah. Kurang apa lagi coba? Kamu itu perempuan paling beruntung”
“Saya yakin Mas Tarjo punya simpanan di luar mbakyu. Bukankah kata
orang suami yang diam dan tak pernah nuntut begitu justru berbahaya? Pasti dia
punya simpanan!”
“Astaghfirullah... istigfar dek Ema. Kamu nggak boleh bicara
seperti itu. Jangan su’udzon!”
“Tapi Mas Tarjo benar-benar berubah mbak, nggak seperti dulu yang
selalu cerewet dengan masakan saya.”
Ema masih seperti dulu selalu tidak pernah puas dengan apa yang
dimilikinya. Seakan keperempuannya harus benar-benar diakui oleh semua orang.
Semua perempuan memang begitu, tapi Ema lain. Dia sangat antik, perempuan yang
selalu mencari-cari buah yang busuk di tumpukkan buah segar yang dimilikinya.
Begitulah sepertinya perumpamaan yang tepat untuknya.
Tarjo adalah laki-laki yang cukup mapan. Bekerja di sebuah kantor
besar membuatnya acapkali bosan dengan kehidupan monoton dan sibuk.
Satu-satunya hal yang ia sukai adalah segera pulang dan makan masakan istrinya.
Memang tak istimewa namun baginya itu sudah lebih dari cukup. Istrinya adalah
wanita yang sempurna baginya. Tak ada satu alasanpun yang membuat Tarjo
meninggalkan wanita yang sangat dikasihinya itu.
Suatu hari Tarjo melihat Ema murung. Tak biasanya istri yang
lumayan gendut yang sering disebut-sebut Tarjo bahenol itu melipat mukanya.
Apakah yang gerangan sedang terjadi pada bidadari cantiknya itu.
Tarjo mulai mendekat dan perlahan menggenggam erat tangan istrinya.
Ema masih mematung menghadap cermin di kamarnya, seakan sedang konsentrasi
penuh pada sebuah wujud yang nampak layu di pantulan cermin itu. Beberapa kali
Tarjo dibuat hampir tertawa karena ulahnya. Ema memoncong-moncongkan bibirnya
sambil menoleh ke kanan kiri mengamati setiap lekuk di wajahnya.
“Mas aku sudah tua ya, jelek, keriputan lagi. Makanya Mas mulai
nggak sayang lagi sama aku. Mas suka mencari perhatian ke perempuan lain ya?
Kok nggak pernah minta perhatian dari aku?”
Tarjo tersenyum perlahan. Sekejap dipandanginya perempuan yang
barusaja memburunya dengan berbagai pertanyaan aneh nan konyol itu. Suasana
nampak lenggang karena anak-anak mereka yang masih SD sedang bersekolah. Tarjo
enggan menjawab pertanyaan istrinya itu, dia senang Ema cemburu kepadanya. Itu
artinya Ema benar-benar mencintainya.
∞∞∞
Si bungsu makan dengan lahapnya. Dia memang benar-benar lapar
setelah seharian tadi ikut serta memetik biji kopi di ladang Cak Bejo. Cak Bejo
memang sedang berbaik hati pada keluarga ini. Dia iba melihat seorang perempuan
dengan delapan orang anak yang masih kecil-kecil ditinggal mati oleh suaminya.
Lalu kemudian dengan tujuan menolong ia pun meminta Asri dan anak-anaknya
memetik kopi di kebunnya yang luas.
Nasi putih itu hanya ditemani oleh gorengan ikan asin, yang
masing-masing piring mendapatkan jumlah satu ekor. Ikan asin adalah menu yang
lumayan spesial bagi mereka. sering mereka hanya makan dengan sambal saja.
Asri mulai membersihkan bekas makan anak-anaknya. Rasa letih
setelah seharian memetik kopi tak dirasakannya. Sudah menjadi kewajibannya
sebagai orang tua untuk melayani anak, itulah prinsip hidupnya. Tak sekalipun
ia mengeluh dengan nasib yang menimpanya.
Dia teringat betul beberapa kali ada orang yang berniat mengadobsi
anaknya, tapi ia bersikeras tak mau melepaskan anak-anaknya. Walaupun susah dia
akan berusaha membesarkan anak-anaknya sendiri. Jika ada orang baik yang
memberikan sumbangan dan bantuan dia mau menerimanya, tapi kalau untuk
mengambil anaknya dia tak rela.
Kehidupan bagi Asri adalah sebuah pil pahit yang memang harus diminumnya.
Tak ada pilihan lain selain menjalaninya dengan sabar. Walau kadang angin
kehidupan bertiup kencang menimpanya dan seakan-akan mau merobohkan bangunan
keluarganya --- dia tak gentar dan tak bergeming sedikitpun. “Aku akan tetap
tegar menghadapi semuanya demi anak-anak,” ujar batinnya.
Ditengah lamunnya, si bungsu bergelendot, menyusupkan kepala
mungilnya ke pangkuan emaknya. Senyumnya nan polos seakan mengubur semua letih
yang merayapnya tadi. Mungkin dia lupa bahwa tadi dia sempat menangis meminta
makan ketika berada di kebun kopi. Asri hanya tersenyum melihat tingkah bungsu.
Dia tak berkata apa-apa kecuali hanya melemparkan senyum dan elusan hangat di
kepala anaknya.
Kebahagiaan Asri amatlah sederhana. Dia mengabdikan dirinya kepada
kedelapan anaknya. Keinginan-keinginannya sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Apalah arti kebahagiaan baginya jika anak-anaknya harus sengsara.
Status janda yang dipikulnya tak menyurutkan langkah-langkah
gontainya mencari sesuap nasi. Iya, memang hanya sesuap. Apa padan kata yang
tepat untuk menggambarkan kehidupan Asri dan anak-anaknya. Kehidupan yang jauh
dari kata layak. Tapi mereka memiliki segala-galanya yang mungkin tak bisa
dimiliki oleh si milioner sekalipun. Kebahagiaan dan ketentraman hidup. Tak
banyak orang memiliki itu.
∞∞∞
Ema semakin menjadi. Dia benar-benar merasa takut ditinggalkan oleh
suaminya. Beberapa salon dan pusat belanja perempuan di sambanginya untuk
mempercantik diri. Dia takut tua, takut Tarjo akan meninggalkannya. Seluruh
kegiatan ala ibu rumah tangganya di rombak. Jadwal memasak di ganti menjadi
jadwa ke salon. Jadwal mengantar anak-anak ke sekolah dan les digantinya dengan
ikut yoga. Semuanya berubah menjadi menakutkan. Anak-anaknya seperti anak
terlantar tanpa ibu yang mengurusinya.
Tarjo berang dengan sikap Ema. Namun Ema tak kunjung menyadari
kesalahannya. Dia semakin mantap kalau Tarjo akan meninggalkannya. Dia
terkurung dalam kerangkeng kecemasan yang mendalam. Tujuannya memang baik, ingin
menjadi ibu dan istri yang dinomer satukan di keluarganya, namun karena sikap
berlebihan yang dilakukannya justru keluarga menjadi takut dan enggan
menyapanya.
Ema merasa semakin sendiri. Kini kedua anaknya ikut-ikutan sikap bapaknya.
Tak pernah di rumah, tak pernah menyentuh masakan-masakannya, bahkan enggan
bertutur sapa dengannya.
Ema gerah dengan semua ini. Dia merasa sudah benar melakukan
semuanya. Toh semuanya juga untuk keluarga, bukan untuk kepentingan pribadinya
sendiri. Dia cantik juga untuk suaminya. Dia sehat dan tangkas juga untuk
anak-anaknya. Lalu apa yang salah? Dia merasa tak pernah ada yang salah dari
dalam dirinya. Dia benar, seratus persen benar. Mereka saja yang salah, mereka
yang tak mau mengerti dan memahami sikap baiknya itu.
Esoknya Ema kembali menyambangi rumah Asri. Matanya sembab agak
kemerahan, sementara berkali-kali di endusnya hidungnya yang mengeluarkan ingus
karena tangisannya.
“Mbakyu kini semuanya telah terbukti, Mas tarjo sudah jarang sekali
di rumah, anak-anak juga. Sekarang mereka sudah nggak mau lagi makan masakan
Ema lagi mbakyu,” Ucap Ema sambil sesenggukan.
Asri diam, menahan sedikit tertawa di dalam hatinya. Ema memang
benar-benar wanita yang sangat antik. Disaat sedihpun wajahnya masih nampak
lucu, dengan pipi menggelembung yang menggemaskan.
“Terbukti bagaimana Dek Ema? Bukannya itu justru bagus? Dek Ema
beberapa hari yang lalu kebingungan karena suaminya nurut, Eeeee... sekarang
ganti kebingungan karena suaminya nggak mau makan masakannya. Terus maunya Dek
Ema gimana?”
“Ya aneh lo Mbakyu, masak tiba-tiba Mas Tarjo merubah pikirannya
kayak gitu? padahal Ema sudah berusaha, ya nyalon, ya yoga, ya dandan,”
tambahnya lagi masih dengan mencoba menerawang apa yang sudah dia lakukan.
“ Lah Dek Ema kan sudah cantik, kenapa kok bingung-bingung ke
salon-salon segala. Tak lihat-lihat
suamimu itu sudah sangat mencintaimu dulu-dulu. Yo mungkin karena terus
kamu curigai maka dia jadi kayak gitu.”
“ Ow begitu ya Mbak?”
“Yaweslah dek, nggak usah bingung-bingung. Syukuri saja apa yang
sudah kamu miliki. Kamu itu wanita yang sangat beruntung, saya juga beruntung,
dulu-dulu tapi pas almahrum bapaknya anak-anak masih ada. Bapak itu orangnya
juga penyayang, ya nggak jauh beda sama suamimu itu.”
“Ya tarus Ema harus bagaimana mbakyu?”
“Ya nggak gimana-gimana. Dulu pas suamimu nurut dan sayang sama
kamu itu apa yang kamu lakukan, ya itu lakukanlah lagi.”
“Iya mbakyu. Tapi Kangmas Tarjo itu kok ya aneh ya? Kok ya sukanya
saya jadi ibu rumah-tangga yang biasa-biasa saja. Kok ya nggak suka saya
sedikit gaul gitu?”
“Oalah dek dek, kamu itu
kokya lucu. Yawes aku mau masak untuk anak-anakku, kamu pulang sana, masak juga
untuk anak-anakmu.”
“Iya mbakyu. Gimana tadi panen kopinya?”
“Ya kayak biasanya dek. Mbakyumu ini orang yang nggak punya, tapi
ya mau gimana lagi? Kuncinya itu syukur Dek”
“Iya mbak, Mbakyu memang benar. Yawes kalau begitu Ema tak pulang
dulu ya mbakyu?”
“Iya sana”
∞∞∞
Comments