Karti
Tepat dibawah pusaran megah terik Senja yang
meredup, diawal Bulan Suro, Karti meraung-raung mendapati tubuh Marsiyah yang tergeletak
lemas. Matanya sedikit mendelik, dengan nafas yang tersengal-sengal seperti
orang yang mau mati saja. Sementara itu tubuh Marsiyah semakin membeku, tak
bergerak sedikitpun. Hampir disekujur tubuhnya ada darah. Entah darimana
asalnya. Yang pasti tak ada suara sama sekali saat itu. Hanya sesekali suara gemeresak
daun-daun bergesekan yang tertimpa angin, atau terkadang cicit burung emprit
yang segera berpulang menuju sarang-sarang di pohon persawahan.
Wajah Marsiyah nampak berseri. Dikenakannya
kebaya pengantin berwarna corak kuning keemasan. Dikepalanya sudah berdiri
kokoh sanggul dan riasan cantik bak puteri raja. Singgasana yang megah
mengundang decak kagum sebagian tetangga yang rata-rata hanya bekerja sebagai
peternak sapi perah. Tak hanya itu, tabuhan-tabuhan musik karawitan khas jawa
dikumandangkan keras-keras. Berduyun-duyun para tetangga datang, sekedar
mengucapkan selamat atau memang berniat turut serta dalam kebahagiaan Marsiyah.
Belum genap setahun setelah kelulusan SMP
diumumkan, kini sahabat karib Karti telah sah menjadi pengatin Mandor Supri,
Mandor terkaya di desanya. Berbekal kecantikan serta tubuh yang lumayan seksi,
kedua orang tua Marsiyah menawarkan anak gadisnya yang masih seumuran jagung,
kepada lelaki dewasa beristri lima seperti Mandor Supri. Meski berulang kali
mengingatkan, namun ucapan Karti seakan bergelayut tanpa bekas ditelinga
Marsiyah.
“Kau yakin akan benar-benar menikah dengan Mandor
Supri Mar?” Tanya Karti kepada Marsiyah disuatu sore saat keduanya sedang
menyetor susu sapi perah mereka.
Marsiyah diam. Tatapannya kosong, seakan tak mau
menjawab pertanyaan Karti yang memberondonginya.
“Mar, engkau masih muda. Masa depanmu masih
sangat panjang. Kau gadis ayu yang memiliki banyak bakat. Tidakkah engkau mau
berfikir ulang tentang keputusanmu menikah dengan Mandor Supri? Dia sudah
memiliki lima istri Mar, dan engkau hanya akan menjadi yang keenam.”
Marsiyah mengangkat wajahnya yang sedari tadi
menunduk. Kini ditatapnya lekat-lekat wajah Karti, sahabat karibnya sejak
kecil. “Aku tau apa yang harus aku lakukan Kar, kau tenang sajalah. Kau tak tau
banyak tentang masalahku, tentang diriku yang harus melakukan pernikahan ini?”
“Berarti kau terpaksa melakukan pernikahan ini
Mar? Katakan padaku, apa kau terpaksa?”
Karti menggeleng pelan. Di bibirnya nampak senyum
simpul yang tak tuntas. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sejak saat itu
tak ada lagi pembicaraan antara Karti dan Marsiyah sampai saat pernikahan ini
terjadi.
Karti menatap lekat wajah Marsiyah yang berdiri
diatas pelaminan. Sungguh pemandangan yang pincang, tak serasi. Senyumnya
seakan lusuh, walau penampilannya nampak gemerlap. Perlahan Karti mendekati
Marsiyah, dengan senyum simpul yang dibuat-buat. Karti mengucapkan selamat pada
Marsiyah.
“Selamat menempuh hidup baru sobat, semoga engkau
bahagia.”
∞∞∞
Enam tahun telah berlalu semenjak pernikahan
Marsiyah berlangsung. Selama itu pula Karti tak pernah bertemu lagi dengan
Marsiyah. Sampai hari inipun tiba, saat dimana untuk pertama kalinya Karti
menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya. Di desa yang terpencil,
yang seluruh warganya bekerja sebagai peternak sapi perah.
Dipandanginya sekeliling kampung tempat
tinggalnya. Tak ada yang berubah, masih sama seperti yang dulu. Banyak
gadis-gadis yang berkeliaran saat pagi menyingsing. Mereka menutupi semua tubuhnya
dengan baju yang lusuh dan kotor, sementara di tangannya sabit-sabit kecil
tergontai. Suasana itu nampak berbanding seratus delapan puluh derajad dengan
suasana kota, tempatnya menuntut ilmu. Karti memang baru saja menyelesaikan
program sarjananya di salah satu universitas ternama di Malang. Keberhasilannya
itulah yang ingin segera ia tularkan kepada seluruh gadis di desanya sehingga
pada hari ini dia pulang.
Esoknya dengan wajah yang cerah Karti menuruni
bukit menuju persawahan kampung. Ada dua niat yang ingin dia capai hari ini.
Niat pertama adalah dia ingin bertemu dengan gadis-gadis desa dan menawari
mereka untuk mengikuti latihan ketrampilan dan belajar di rumahnya. Sedangkan niat kedua adalah untuk mengetahui kabar
Marsiyah, sahabatnya.
Siang itu akhirnya Karti bertemu Marsiyah.
Matanya terbelalak melihat sahabat kecilnya itu sedang mencari rumput sendirian
di bawah terik matahari. Karti hanya memandanginya dari kejauhan dan mengamati
setiap tingkah polah gadis itu. Nampak wajah Marsiyah pucat pasi. Ayunan sabit
di tangannya pun tak bersemangat. Perlahan hati Karti semakin menanak risau.
Dia ingin sekali menghampiri Marsiyah untuk sekedar ngobrol dan menanyakan
kabar.
Tekad Karti membulat. Rimbunan semak kering yang
tersorot matahari di laluinya. Bunga-bunga liar yang sengaja dibiarkan tumbuh,
kini sudah berkembang. Berwarna-warni menghipnotis beberapa detik pandangan
Karti. Karti terus melangkahkan kaki jenjangnya yang kurus melintasi jalan
setapak yang sering dilewati manusia untuk mengambil beberapa bongkah rumput
untuk makan ternak.
“Mar... sedang apa? Kau sendirian ?”
Marsiyah tersentak dengan suara seseorang yang
datang secara tiba-tiba itu. Secepat kilat wajahnya menoleh, mencari tau asal suara
sapa yang baru di dengarnya. Dia menghela nafas saat mengetahui Karti berdiri
di belakangnya. “Oo.. kau Ti. Seperti yang kau lihat aku sedang mencari rumput
untuk makan sapiku.” Jawab Marsiyah singkat. Beberapa detik kemudian wajahnya
yang semula tersenyum kembali tertekuk.
Karti tak tinggal diam. Diraihnya pundak Marsiyah
dan segera duduk di sampingnya. “Apa kabarmu sobat? Nampaknya kau sedang sakit.
Wajahmu begitu pucat dan nampak lemah”
“Iya Ti, aku sedang hamil muda. Makannya wajahku
pucat dan lemas”
“Apa?” Karti terkaget mendengar cerita Marsiyah.
“Kenapa kau yang mencari rumput kalau keadaanmu sedang hamil muda begini?
kemana suamimu?” Tanya karti dengan wajah yang terlihat menahan amarah.
Marsiyah diam, tak berkutik sedikitpun. Hampir
semenit dia mematung dengan pandangan yang menerawang. Beberapa detik kemudian
tangannya mulai bergetar hebat. Keringatnya jatuh bercucuran di pelipis
matanya. Sekejab sabit di tangannya terjatuh dan Marsiyahpun tersungkur di
tanah.
“Apakah kau tak pernah mendengar omongan
orang-orang tentangku Ti?”
Karti bingung. Omongan yang mana yang dimaksudkan
oleh Marsiyah, “Aku nggak pernah mendengar omongan apa-apa Mar. Bukankah kau
juga tau kalau selama ini aku tinggal di Malang dan baru kali ini aku pulang.
Memangnya ada apa Mar?” tanya Karti menyelidik.
“Benarkah kau tak pernah mendengar apa-apa Ti?
Bukankah kau sekarang kesini untuk menertawakanku?” ucap Marsiyah makin sinis.
Karti semakin bingung. Dia tak mengerti dengan
segala cercaan yang ditumpahkan kepadanya. Sudah hampir enam tahun dia tak
pernah bertemu dengan Masiyah temannya itu. Namun ketika sekarang telah
bertemu, Marsiyah menjadi aneh. Dia menjadi sosok yang sangat berbeda dengannya
yang dulu. Bahkan tak ada senyum persahabatan lagi untuk Karti.
“Kau kenapa Mar? Aku benar-benar tak mengerti
maksudmu. Aku kesini karena aku tadi melihatmu sedang mencari rumput sendirian.
Dan aku kira aku bisa menyapamu dan sedikit ngobrol denganmu. Namun kenapa
tiba-tiba kau marah kepadaku?”
“Jadi kau tak pernah tahu apa yang sedang ku
alami Ti?”
Karti menggeleng pelan. Matanya lekat memandang
tangis sahabatnya. Karti yakin betul kalau sahabatnya ini sedang bermasalah. Marsiyah yang begitu bahagia di
hari pernikahannya nampak berbeda 180 derajad hari ini.
“Maukah kau menceritakan apa yang sedang terjadi
Mar? Aku Karti, masih tetap sahabatmu yang dulu -- yang akan tetap mendengarkan
semua keluh kesahmu. Tumpahkanlah sobat, tumpahkanlah semua beban yang kau
pikul itu. Agar kau lebih merasa ringan.”
“Tidakkah kau tau Ti, aku sudah ditinggalkan
laki-laki itu. Laki-laki yang sudah seenaknya menghisap madu ku dan kini dia
sedang bercumbu dengan gadis lain. Kau tau Ti, betapa sakitnya hatiku
diperlakukan seperti itu. Aku menyesal dulu tak pernah mendengarkan ucapanmu
kawan!”
“Mandor Supri?” suara Karti terhenti. Tanpa
anggukan dari Marsiyah-pun Karti tau bahwa Mandor Supri-lah yang dimaksud
Marsiyah.
“Sudah ku duga laki-laki itu adalah seorang yang
gemar memainkan perempuan. Lalu dimana dia sekarang?” tanya Karti dengan suara
meninggi. Matanya seperti menyala menampakkan kebencian pada laki-laki bejat
itu.
Tak ada jawaban dari Marsiyah. Sedikitpun tak ada. Karti tau bahwa Marsiyah sedang
merasakan luka mendalam. Luka yang mungkin tak akan dimenegerti oleh karti,
walaupun marsiyah akan menceritakannya.
Matahari semakin terik menyengat kulit. Ilalang
panjang bergoyang seirama dengan musik yang dimainkan oleh angin. Helai-helai
rambut panjang karti dan marsiyah ikut meramaikannya. Bersenandung dengan irama
yang kian lama kian terasa panas.
Sudah lama Karti menantikan saat seperti ini,
saat dirinya dan marsiyah duduk bersanding bersama. Di bawah rindang pohon
jambu air yang sering mereka panjat saat mereka masih kecil dulu. Mata marsiyah
semakin sembab, isaknya semakin menyumbat nafas dari hidungnya. Karti
mendiamkannya seakian memberikan ruang bagi Marsiyah meluapkan segala gundah di
hatinya.
“Kau harus tau Ti, Mandor Supri itu adalah lelaki
yang paling pandai merayu perempuan. Aku dibikinnya terbang ke awang setelah
itu dia menjatuhkanku ke dalam jurang”
“Tapi bukankah dia memang begitu sejak dulu?
sejak menjadikanmu istri yang keenam. Lalu kenapa baru sekarang kau
menyadarinya Mar?”
Marsiyah menunduk. Matanya semakin sembab berair.
Dipandangnya mata Karti lekat-lekat dan secepat kilat diayunkannya sabit
ditangannya menuju perutnya sendiri. Darah memuncrat di wajah Karti. Sambil
meraung-raung Karti memanggili Marsiyah, berharap masih ada kehidupan pada
jasad shabatnya. Tak ada jawaban dan sepi. Hanya raungan dan isakan tangis
Karti yang kini terdengar sayup-sayup terbawa angin. Dan pada akhirnya semuanya
harus berakhir.
Inilah pertemuan terakhir Karti dengan Marsiyah,
dipadang ilalang panjang dengan semburat senja yang senyusup ke barat. Tak
tertolong lagi, akhirnya Marsiyah mati dipangkuan Karti. Hanya satu ucapan
Marsiyah masih terngiang di detik-detik ajalnya, “Selamatkan masa depan gadis-gadis
di desa ini Ti, aku percaya padamu.”
Karti pun menagis sesenggukan mendengar ucapan
itu. Ucapan penuh makna yang diucapkan oleh seorang Marsiyah, sahabtnya.
---- T
A M A
T ----
Comments