Karti

Tepat dibawah pusaran megah terik Senja yang meredup, diawal Bulan Suro, Karti meraung-raung mendapati tubuh Marsiyah yang tergeletak lemas. Matanya sedikit mendelik, dengan nafas yang tersengal-sengal seperti orang yang mau mati saja. Sementara itu tubuh Marsiyah semakin membeku, tak bergerak sedikitpun. Hampir disekujur tubuhnya ada darah. Entah darimana asalnya. Yang pasti tak ada suara sama sekali saat itu. Hanya sesekali suara gemeresak daun-daun bergesekan yang tertimpa angin, atau terkadang cicit burung emprit yang segera berpulang menuju sarang-sarang di pohon persawahan.
∞∞∞
Wajah Marsiyah nampak berseri. Dikenakannya kebaya pengantin berwarna corak kuning keemasan. Dikepalanya sudah berdiri kokoh sanggul dan riasan cantik bak puteri raja. Singgasana yang megah mengundang decak kagum sebagian tetangga yang rata-rata hanya bekerja sebagai peternak sapi perah. Tak hanya itu, tabuhan-tabuhan musik karawitan khas jawa dikumandangkan keras-keras. Berduyun-duyun para tetangga datang, sekedar mengucapkan selamat atau memang berniat turut serta dalam kebahagiaan Marsiyah.
Belum genap setahun setelah kelulusan SMP diumumkan, kini sahabat karib Karti telah sah menjadi pengatin Mandor Supri, Mandor terkaya di desanya. Berbekal kecantikan serta tubuh yang lumayan seksi, kedua orang tua Marsiyah menawarkan anak gadisnya yang masih seumuran jagung, kepada lelaki dewasa beristri lima seperti Mandor Supri. Meski berulang kali mengingatkan, namun ucapan Karti seakan bergelayut tanpa bekas ditelinga Marsiyah.
“Kau yakin akan benar-benar menikah dengan Mandor Supri Mar?” Tanya Karti kepada Marsiyah disuatu sore saat keduanya sedang menyetor susu sapi perah mereka.
Marsiyah diam. Tatapannya kosong, seakan tak mau menjawab pertanyaan Karti yang memberondonginya.
“Mar, engkau masih muda. Masa depanmu masih sangat panjang. Kau gadis ayu yang memiliki banyak bakat. Tidakkah engkau mau berfikir ulang tentang keputusanmu menikah dengan Mandor Supri? Dia sudah memiliki lima istri Mar, dan engkau hanya akan menjadi yang keenam.”
Marsiyah mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Kini ditatapnya lekat-lekat wajah Karti, sahabat karibnya sejak kecil. “Aku tau apa yang harus aku lakukan Kar, kau tenang sajalah. Kau tak tau banyak tentang masalahku, tentang diriku yang harus melakukan pernikahan ini?”
“Berarti kau terpaksa melakukan pernikahan ini Mar? Katakan padaku, apa kau terpaksa?”
Karti menggeleng pelan. Di bibirnya nampak senyum simpul yang tak tuntas. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sejak saat itu tak ada lagi pembicaraan antara Karti dan Marsiyah sampai saat pernikahan ini terjadi.
Karti menatap lekat wajah Marsiyah yang berdiri diatas pelaminan. Sungguh pemandangan yang pincang, tak serasi. Senyumnya seakan lusuh, walau penampilannya nampak gemerlap. Perlahan Karti mendekati Marsiyah, dengan senyum simpul yang dibuat-buat. Karti mengucapkan selamat pada Marsiyah.
“Selamat menempuh hidup baru sobat, semoga engkau bahagia.”
∞∞∞
Enam tahun telah berlalu semenjak pernikahan Marsiyah berlangsung. Selama itu pula Karti tak pernah bertemu lagi dengan Marsiyah. Sampai hari inipun tiba, saat dimana untuk pertama kalinya Karti menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya. Di desa yang terpencil, yang seluruh warganya bekerja sebagai peternak sapi perah.
Dipandanginya sekeliling kampung tempat tinggalnya. Tak ada yang berubah, masih sama seperti yang dulu. Banyak gadis-gadis yang berkeliaran saat pagi menyingsing. Mereka menutupi semua tubuhnya dengan baju yang lusuh dan kotor, sementara di tangannya sabit-sabit kecil tergontai. Suasana itu nampak berbanding seratus delapan puluh derajad dengan suasana kota, tempatnya menuntut ilmu. Karti memang baru saja menyelesaikan program sarjananya di salah satu universitas ternama di Malang. Keberhasilannya itulah yang ingin segera ia tularkan kepada seluruh gadis di desanya sehingga pada hari ini dia pulang.
Esoknya dengan wajah yang cerah Karti menuruni bukit menuju persawahan kampung. Ada dua niat yang ingin dia capai hari ini. Niat pertama adalah dia ingin bertemu dengan gadis-gadis desa dan menawari mereka untuk mengikuti latihan ketrampilan dan belajar di rumahnya. Sedangkan  niat kedua adalah untuk mengetahui kabar Marsiyah, sahabatnya.
Siang itu akhirnya Karti bertemu Marsiyah. Matanya terbelalak melihat sahabat kecilnya itu sedang mencari rumput sendirian di bawah terik matahari. Karti hanya memandanginya dari kejauhan dan mengamati setiap tingkah polah gadis itu. Nampak wajah Marsiyah pucat pasi. Ayunan sabit di tangannya pun tak bersemangat. Perlahan hati Karti semakin menanak risau. Dia ingin sekali menghampiri Marsiyah untuk sekedar ngobrol dan menanyakan kabar.
Tekad Karti membulat. Rimbunan semak kering yang tersorot matahari di laluinya. Bunga-bunga liar yang sengaja dibiarkan tumbuh, kini sudah berkembang. Berwarna-warni menghipnotis beberapa detik pandangan Karti. Karti terus melangkahkan kaki jenjangnya yang kurus melintasi jalan setapak yang sering dilewati manusia untuk mengambil beberapa bongkah rumput untuk makan ternak.
“Mar... sedang apa? Kau sendirian ?”
Marsiyah tersentak dengan suara seseorang yang datang secara tiba-tiba itu. Secepat kilat wajahnya menoleh, mencari tau asal suara sapa yang baru di dengarnya. Dia menghela nafas saat mengetahui Karti berdiri di belakangnya. “Oo.. kau Ti. Seperti yang kau lihat aku sedang mencari rumput untuk makan sapiku.” Jawab Marsiyah singkat. Beberapa detik kemudian wajahnya yang semula tersenyum kembali tertekuk.
Karti tak tinggal diam. Diraihnya pundak Marsiyah dan segera duduk di sampingnya. “Apa kabarmu sobat? Nampaknya kau sedang sakit. Wajahmu begitu pucat dan nampak lemah”
“Iya Ti, aku sedang hamil muda. Makannya wajahku pucat dan lemas”
“Apa?” Karti terkaget mendengar cerita Marsiyah. “Kenapa kau yang mencari rumput kalau keadaanmu sedang hamil muda begini? kemana suamimu?” Tanya karti dengan wajah yang terlihat menahan amarah.
Marsiyah diam, tak berkutik sedikitpun. Hampir semenit dia mematung dengan pandangan yang menerawang. Beberapa detik kemudian tangannya mulai bergetar hebat. Keringatnya jatuh bercucuran di pelipis matanya. Sekejab sabit di tangannya terjatuh dan Marsiyahpun tersungkur di tanah.
“Apakah kau tak pernah mendengar omongan orang-orang tentangku Ti?”
Karti bingung. Omongan yang mana yang dimaksudkan oleh Marsiyah, “Aku nggak pernah mendengar omongan apa-apa Mar. Bukankah kau juga tau kalau selama ini aku tinggal di Malang dan baru kali ini aku pulang. Memangnya ada apa Mar?” tanya Karti menyelidik.
“Benarkah kau tak pernah mendengar apa-apa Ti? Bukankah kau sekarang kesini untuk menertawakanku?” ucap Marsiyah makin sinis.
Karti semakin bingung. Dia tak mengerti dengan segala cercaan yang ditumpahkan kepadanya. Sudah hampir enam tahun dia tak pernah bertemu dengan Masiyah temannya itu. Namun ketika sekarang telah bertemu, Marsiyah menjadi aneh. Dia menjadi sosok yang sangat berbeda dengannya yang dulu. Bahkan tak ada senyum persahabatan lagi untuk Karti.
“Kau kenapa Mar? Aku benar-benar tak mengerti maksudmu. Aku kesini karena aku tadi melihatmu sedang mencari rumput sendirian. Dan aku kira aku bisa menyapamu dan sedikit ngobrol denganmu. Namun kenapa tiba-tiba kau marah kepadaku?”
“Jadi kau tak pernah tahu apa yang sedang ku alami Ti?”
Karti menggeleng pelan. Matanya lekat memandang tangis sahabatnya. Karti yakin betul kalau sahabatnya ini sedang  bermasalah. Marsiyah yang begitu bahagia di hari pernikahannya nampak berbeda 180 derajad hari ini.
“Maukah kau menceritakan apa yang sedang terjadi Mar? Aku Karti, masih tetap sahabatmu yang dulu -- yang akan tetap mendengarkan semua keluh kesahmu. Tumpahkanlah sobat, tumpahkanlah semua beban yang kau pikul itu. Agar kau lebih merasa ringan.”
“Tidakkah kau tau Ti, aku sudah ditinggalkan laki-laki itu. Laki-laki yang sudah seenaknya menghisap madu ku dan kini dia sedang bercumbu dengan gadis lain. Kau tau Ti, betapa sakitnya hatiku diperlakukan seperti itu. Aku menyesal dulu tak pernah mendengarkan ucapanmu kawan!”
“Mandor Supri?” suara Karti terhenti. Tanpa anggukan dari Marsiyah-pun Karti tau bahwa Mandor Supri-lah yang dimaksud Marsiyah.
“Sudah ku duga laki-laki itu adalah seorang yang gemar memainkan perempuan. Lalu dimana dia sekarang?” tanya Karti dengan suara meninggi. Matanya seperti menyala menampakkan kebencian pada laki-laki bejat itu.
Tak ada jawaban dari Marsiyah. Sedikitpun  tak ada. Karti tau bahwa Marsiyah sedang merasakan luka mendalam. Luka yang mungkin tak akan dimenegerti oleh karti, walaupun marsiyah akan menceritakannya.
Matahari semakin terik menyengat kulit. Ilalang panjang bergoyang seirama dengan musik yang dimainkan oleh angin. Helai-helai rambut panjang karti dan marsiyah ikut meramaikannya. Bersenandung dengan irama yang kian lama kian terasa panas.
Sudah lama Karti menantikan saat seperti ini, saat dirinya dan marsiyah duduk bersanding bersama. Di bawah rindang pohon jambu air yang sering mereka panjat saat mereka masih kecil dulu. Mata marsiyah semakin sembab, isaknya semakin menyumbat nafas dari hidungnya. Karti mendiamkannya seakian memberikan ruang bagi Marsiyah meluapkan segala gundah di hatinya.
“Kau harus tau Ti, Mandor Supri itu adalah lelaki yang paling pandai merayu perempuan. Aku dibikinnya terbang ke awang setelah itu dia menjatuhkanku ke dalam jurang”
“Tapi bukankah dia memang begitu sejak dulu? sejak menjadikanmu istri yang keenam. Lalu kenapa baru sekarang kau menyadarinya Mar?”
Marsiyah menunduk. Matanya semakin sembab berair. Dipandangnya mata Karti lekat-lekat dan secepat kilat diayunkannya sabit ditangannya menuju perutnya sendiri. Darah memuncrat di wajah Karti. Sambil meraung-raung Karti memanggili Marsiyah, berharap masih ada kehidupan pada jasad shabatnya. Tak ada jawaban dan sepi. Hanya raungan dan isakan tangis Karti yang kini terdengar sayup-sayup terbawa angin. Dan pada akhirnya semuanya harus berakhir.
Inilah pertemuan terakhir Karti dengan Marsiyah, dipadang ilalang panjang dengan semburat senja yang senyusup ke barat. Tak tertolong lagi, akhirnya Marsiyah mati dipangkuan Karti. Hanya satu ucapan Marsiyah masih terngiang di detik-detik ajalnya, “Selamatkan masa depan gadis-gadis di desa ini Ti, aku percaya padamu.”
Karti pun menagis sesenggukan mendengar ucapan itu. Ucapan penuh makna yang diucapkan oleh seorang Marsiyah, sahabtnya.

----  T  A  M  A  T  ----







Comments

Popular Posts